Ø Selayang pandang
Nama : Ali Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.
Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di
Zaman al-Walid
Makam : Baqi' Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan
Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein,
Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor
Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu
Kaltsum
Ø Kelahiran Imam Ali zainal Abidin as
Pada masa pemerintahan khalifah
kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan
negeri Persia
(Iran). Atas kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke
Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia.
Tatkala kaum muslimin berkumpul di
masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as
memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri
raja tidak boleh diperjualbelikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau
mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya.
Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah dengannya."
Sang putri raja itu menjatuhkan
pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan
hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya
dengan baik dan santun.
Beliau mengatakan, "Wahai Abu
Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik
penduduk dunia."
ia, dari rahim wanita bangsawan
inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah
memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam
nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.
Ø Amirul Mukminin ‘Ali a.s
Amirul
mukminin ‘Ali a.s. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam sabda beliau, “Ali di sisiku
seperti diriku,. Ketaatan kepadanya sama dengan ketaatan kepadaku, dan
kemaksiatan kepadanya sama dengan bermaksiat kepadaku”.
Oleh
karena itu, kecintaan kepada ‘Ali a.s menjadi simbol keimanan, sedangkan
kebencian kepadanya adalah simbol kemunafikan.
Sesungguhnya
kedekataan ‘Ali a.s. cintanya, dan ketaatanya kepada Rasullah saw. Tidak
diragukan lagi merupakan faktor utama dalam kemuliaannya dan kesiapannya dalam
menerima pengetahuan-pengetahuan lahir batin, hikmah-hikmah yang agung, dan
perwaliannya. Oleh karena itu pula, kefasihan Imam Ali a.s. unggul dibandingkan
yang lainya dan ucapan-ucapannya sarat dengan nilai-nilai yang luhur.
Dalam
perjalan sejarah, muncul upaya-upaya untuk membukuksn ucapan-ucapan Imam Ali
a.s dan khutbah=khutbahnnya. Di antara upaya-upaya yang paling pentung dan
tergolong pelopor ini adalah apa yang dipilih oleh Syarif Ar-Radhiyy berupa
kumpulan khutbah, surat, hikmah, dan nasihat-nasihat. Setelah itu. Bermunculan
karangan-karangan lain yang berupa menambah apa yang telah dikumpulkan oleh
Syarif Ar-Radhuyy[1].
Ø Najh Al-Balaghah
Najh
al-balaghah merupakan kumpulan khutbah, doa-doa, nasihat, surat-surat, dan
hikmah-hikmah singkat terkenal Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as. Kitab ini
disusun oleh Sayyid Syarif al-Radhi ra sekitar seribu tahun silam. Walaupun
demikian lamanya waktu yang berjalan tidaklah mengurangi dan menghilangkan
kesegaran karya ini, justru kian menambah nilai dan bobot buku tersebut secara
terus menerus di saat sejumlah konsep dan gagasan bermunculan.
Tidak
asing lagi, ini berkat kefasihan Ali as dalam menyampaikan sejumlahbesar
khutbahnya sehungga menjadi terkenal, demikan pula sejumlah ucapan hikmah
filosofis terdengar dari lisannya. Ia menulis banyak surat. Terutama ketika
masa-masa kekhalifahannya yang dicatat para pengikutnya dan dipelihara dengan
penuh perhatian dan antusiasme yang luar biasa. Al-Mas udi, yang hidup hampir
sebelum sayyid al-Radhi, dalam jilid kedua kitabnya, Muruj al-Dzahab, di bawah
tajuk fi Dzir Luma min Kalamihi, wa zuhdih, mengatakan :
Dalam
berbagai kesempatan, lebih dari 480 buah. Ali biasa menyampaikan khutbah tanpa
melakukan persiapan apapun sebelumnya. Orang-orang mencatat ucapan-ucapanya dan
secara praktis memperoleh manfaat dari khutbah-khutbah tadi.
Pernyataan
seorang peneliti termasyur dan sarjana seperti al-Mas’udi menegaskan banyaknya
ucapan Ali yang ada di zamannya. Dari jumlah tersebut, yang ada dalam Najh
al-balaghah hanya 239 buah. Padahal, sebagaiamana disebutkan oleh al-Mas’udi,
jumlah pidatonya lebih dari 480 buah, bahkan al-Mas’udi, mengatakan kepada kita
tentang dedikasi dan gairah luar biasa dari sejumlah orang dalam mencatat dan
memelihara ucapan-ucapan Ali[2].
Ø Keindahan dan Kefasihan Satra
Aspek
Najh al-Balaghah pada sisi keindahan dan kefasihan sastra ini tidak memerlukan
kata pengantar bagi pembaca yang memiliki cita rasa satra yang mampu
mengapresiasi keindahan dan kefasihan bahasa. Pada dasarnya, keindahan
merupakan sesuatu yang dirasakan dan dialami dan bukan untuk diuraikan ataupun
didefenisikan. Setelah hampir empat belas abad, Najh al-Balaghah tetap
mengandung daya tarik, kesegaran, keindahan, dan pesona yang sama bagi pembaca
modern sebagaimana yang dimiliki bagi orang-orang dulu. Disini, kami tidak
bermaksud untuk menguraikan bukti dari klaim ini. Sebab itu, sebagaimana suatu
bagian dari khutbah-khutbah kam, kami akan memaparkan secara ringkas kekuatan
menajubkan dari ucapan-ucapan Imam Ali yang menggetarkan hati dan menyunyikkan
perasaan kagum ke dalamnya. Kami akan memulai dengan masa-masa Ali sendiri dan
menelusuri pengaruh dari khutbah-khutbahnya melalui perubahan-perubahan dan
variasi-variasi dalam cita rasa, pandagan, dan modus pemikiran selama masa-masa
suksesif yang berbeda sampai hari ini.
Para
sahabat Ali as, terutama mereka yang memiliki cita rasa bahasa dan satra,
sangat menghargainya sebagai seorang ahli pidato. Salah seorang dari mereka,
abd Allah bin al-Abbas, sebagaimana ditunjukan oleh al-Jahizh dalam tidak
menutupi kegemarannya untuk mendegarkan ‘Ali berbicara atau kepuasan yang ia
dapatkan darinya. Suatu saat ketika Ali tengah menyampaikan khutbahnya yang
termasyhur disebut al-Syiqsyiqiyyah, Ibn al-Abbas juga hadir ketika Ali tengah
berbicara, seorang awam dari kufah menyerahkan sepucuk kertas berisikan
sejumlah pertannyaan sehingga Ali
menghentikan khutbahnnya. Setelah membaca surat ini, Ali tidak melanjutkan
khutbahnnya meskipun Ibn al-Abbas mendorongnya untuk meneruskan khutbah tadi.
Lalu Ibn al-Abbas mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam atas peristiwa
tersebut, “Seumur hidup belum pernah aku begitu bersedih karena terputusnnya
suatu khutbah seperti yang kualami dalam khutbah ini.
Merujuk
kepada sebuah surat bahwasanya Ali telah menyuratinya, Ibn al-Abbas mengatakan
: “Selain pembicaraan Nabi saw, aku menarik banyak manfaat dari ucapan ini.”
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, musuh paling sengit Ali pun mengakui kefasihannya yang luar
biasa. Ketika Muhqin bin Abi Muhqin menggoyang Ali dan bergabung dengan
Mu’awiyah, untuk menyenangkan Mu’awiyah yang hatinya penuh dengan benci dan
hasud kepada Ali, ia berkata, “Aku telah meninggalkan manusia yang paling tolol
dan datang kepadamu. “Ungkapan keji dari jenis sanjungan yang berlebihan ini
begitu jelas sehingga Mu’awiyah mengecamnya seraya mengatakan: “Apa katamu? Kau
sebut Ali manusia paling tolol? Orang-orang Quraisy sebelumnya tidak mengetahui
kefasihan berbicara. Dialah yang mengajari mereka seni kefasihan bicara[3].”
Ø Pengaruh Khutbah Ali
Bagi
mereka yang mendegar pidato Ali dari atas mimbar akan terpengaruh oleh
kata-katanya. Khutbah-khutbahnya akan membuat pendegarnya tergoncang hatinya
dan meneteskan air mata. Bahkan sekarang, siapa yang bisa mendegar atau membaca
khutbah-khutbah Ali tanpa trgoncang hatinya? Sayyid ar-Ridhi, setelah
meriwayatkan pidato terkenal Ali yang disebut al-Gharra, mengatakan :
Ketika
Ali menyampaikan khutbahnya, air mata mengalir dari mata para pendegarnya dan
hati-hati tergoncang penuh emosi.
Salah
seorang sahabat Ali Hammam bin Syuraih adalah orang yang hatinya dipenuhi
dengan cinta kepada Allah. Jiwanya dibakar dengan kehidupan spritual. Sekali
waktu, ia memohon Ali untuk melukiskan sifat-sifat orang takwa. Disatu sisi,
Ali tidak ingin menolak permohonnya,dan sisi lain, ia khawatir bahwa Hammam
tidak mampu menahan apa yang Ali katakan. Oleh karena itu, ia menghindar dari
permohonan ini dengan hanya memberikan penjelasan alakadarnya ihwal ciri orang
takwa. Hammam tidak terpuaskan dengan jawaban tersebut. Namun demikian ini
membuat antusiasmenya makin bertambah dan ia meminta Ali untuk menjelaskan
lebih jauh perihal sifat orang takwa.
Ali
memulai khutbah terkenalnya itu dan memaparkan sifat-sifat muttaqin tersebut.
Sekitar 105 sifat yang dilukiskan Ali mengenai sifat orang yang bertakwa dan ia
ingin Ali terus menggambarkan lebih jauh. Namun begitu kata-kata Ali mengalir
deras, Hammam terbawa pada puncak kebahagian. Hatinya bergetar, ruhnya melayang
kepada batas emosi yang sangat jauh, hasratnya melambung bagaikan brung yang
gelisah yang mencoba keluar dari sarangnya. Tiba tiba, terdengar tangisan yang
menyayat dan orang-orang saling menenggok ke kiri dan kanan mencari sumber tangisan
yang tidak ada orang lain selain Hammam sendiri. Mereka mendapatkan jiwanya
telah terbang dari bumi memasuki alam baka. Ketika ini terjadi Ali berkata,
dengan nada pujian sekaligus sesal: “sungguh, demi Allah, sejak pertama aku
sudah khawatir hal ini akan terjadi atasnya. Beginikah akibat yang ditimbulkan
oleh nasihat-nasihat yang mendalam pada hati nan rawan “ini merupakan sebuah
contoh pengaruh khutbah ‘Ali yang tertanam pada pikiran-pikiran dan kalbu-kalbu
para sahabat setianya[4].
Ø Najh al-Balaghah di Antara Satra Klasik
Kebanyakan
bangsa mempuyai karya-karya satra tertentu dianggap sebagai adikarya atau
klasik. Di sini, kami akan membatasi kajian kami pada karya sastra klasik
berbahasa Arab dan Parsi yang nilai yang nilai-nilainya secara relatif dapat
dilihat oleh kita dengan mengecualikan karya-karya klasik di dunia kuno, Yunani
dan Romawi dan seterusnya serta adikarya-adikarya zaman modern dari Italia,
Inggris Prancis, dan negeri-negeri lain, untuk dikaji dan dievaluasi oleh
pihak-pihak yang akrab dan cakap atsa karya-karya tersebut.
Sudah
tentu, keputusan akurat mengenai karya klasik berbahasa Arab dan Parsi hanya
mungkin bagi para sarjana yang memiliki spesialisasi bidang terkait. Namun
merupakan fakta yang bisa diterima bahwa setiap pengarang adikarya ini hanya
besar dibidang tertentu. Tidak di setiap aspek. Lebih tepatnya lagi, setiap
penulis dari adikarya ini hanya memperlihatkan kepiwaiannya pada satu bidang
tertentu, bidang khusus yang menentukan kecerdasaan mereka. Terkadang, jika
mereka telah meninggalkan bidang khusus meraka untuk melangkah ke wilayah lain,
maka mereka gagal secara menyedihkan.
Dalam
Najh al-Balaghah ada satu kisah. Suatu saat Imam Ali ditanya “siapakah penyair
yang paling menonjol di kalangan bangsa arab?” Ali menjawab:
Tak
syak lagi, semua penyair tidak menapaki suatu jalan tunggal sehingga anda bisa
menyebutkan pemimpin dari para pengikutnya. Namun jika orang terpaksa untuk
memilih salah satu di antara mereka, aku akan mengatakan bahwa yang paling
menonjol di kalangan mereka adalah Malik al-Dillil (gelar Umru’ al-Qays)[5].
Ø Kecakapan Ali
Salah satu karakter yang menonjol
dari ucapan Imam Ali yang telah sampai kepada kita dalam bentuk Najh
al-Balaghah adalah bahwa ucapan-ucapanya tidak terbatas pada satu bidang
tertentu. ‘Ali as, dalam kata-katanya sendiri, tidak terpaku hanya pada satu
cara, namun mencakup pelbagai landasan, yang terkadang sangat antitesis. Najh
al-Balaghah merupakan sebuah adikarya, tapi bukan tergolong dari salah satu
jenis karya semisal epik , ghazal, khutbah, eulogy (pantun puji-pujian), puisi
satir dan cinta. Sebaliknya, ia mencakup bidang-bidang multimedimensi,
sebagaimana akan dijelaskan.
Sesungguhnya, karya-karya yang
tergolong adikarya dalam satu bidang tertentu memang ada, namun jumlajnya tidak
besar dan bisa di hitung dengan jari. Jumlah karya-karya yang mencakup sejumlah
subjek namun bukan adikarya sangat banyak. Namun sebuah adikarya yang secara
serentak tidak membatasi dirinya kepada satu subjek tertentu merupakan suatu
nilai eksklusif dari Najh al-Balaghah. Kecuali Al-Qur’an, yang secara total
merupakan subjek yang berbeda berkaitan dengan tema tadi, maka adikarya apa
yang bisa dibandingkan dengan Najh al-Balaghah dalam hal keserbagunaanya?
Bicara
merupakan representasi jiwa dan kata-kata seorang manusia berkaitan dengan
lingkungan yang dihuninya. Tentu saja pembicaraan yang terkait dengan ruang
lingkup berdemensi banyak merupakan karakteristik dari jiwa Ali tidak terbatas
pada ranah tertentu namun meliputi berbagai ruang lingkup dan ia dalam
termenologi tasawuf Islam, adalah al-insan al-kamil (manusia sempurna) al-kawn
al-jami’(mikrokosmos utuh) dan jami’ kull al-haddharat, pemilik semua nilai
kebajikan yang luhur, sehingga pembicaraanya tidak terbatas pada satu ruang
lingkup tertentu. Dengan demikian sebagaimana yang akan kami katakan, dalam
istilah dewasa ini, nilai ‘Ali terletak pada watak tutur katanya yang
multidimensional, yang berbeda dengan karya-karya yang berwatak satu demensi.
Watak serba mencakup dari jiwa Ali dan pembicaraanya bukanlah penemuan baru. Ia
merupakan suatu karakter yang telah memunculkan perasaan takjub, setidaknya
sejak seribu tahun yang lalu. Kualitas inilah yang telah memikat perhatian
Sayyid al-Radhi seribu tahu silam. Untuk alasan itulah. Ia tertarik dengan
ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Ali[6].
Ø Tema-tema Najh al-Balaghah
Berbagai
tema dan topik dibahas dalam Najh al-Balaghah, yang membuka spektrum luas dari
masalah-masalah yang mewarnai dan mencoraki kedalam wacana-wacana Illahi ini.
Penulis disertai ini tidak punya pretensi dan memiliki kapasitas untuk
merampungkan buku itu dengan penuh keadilan dan menganalisnya secara mendalam.
Say8a hanya bermaksud memberi laporan ringkas akan pelbagai tema yang ada pada
kitab itu, dan adalah keyakinan kukuh saya bahwa orang lain akan tampil dimasa
depanlah yang akan sanggup untuk bebuat adil terhadap adikarya dari kefasihan
bicar tokoh ini.
Sekilas
tentang berbagai problem yang tercakup oleh Najh al-Balaghah
Berbagai
topik yang dijumpai dalam Najh al-Balaghah yang masing-masing merupakan bahasan
bermanfaat, dapat digambarkan sebagai berikut :
·
Masalah teologi dan metafisika
·
Jalan mistik dan ibadah
·
Pemerintahan dan keadilan sosial
·
Ahlulbait dan isu kekhalifahan
·
Hikmah dan nasihat
·
Dunia dan keduniaan
·
Heroisme dan kegagahan
·
Kenabian, predeksi, dan eskatologi
·
Doa dan munajat
·
Kritik masyarakat kontenporer
·
Filsafat sosial
·
Islam dan al-qur’an
·
Moralitas dan disiplin diri
·
Kepribadiann, dan serangkaian topik
lainnya[7].
Ø Irfan dalam Najh al-Balaghah
Irfan Baginda Ali As dan para Imam
Maksum adalah irfan yang tidak terpisah dari Islam dan al-Qur’an, bahkan irfan
mereka adalah hakikat Islam dan batin syariat. Mengikut pandangan ini, irfan
sejati mencakup seluruh dimensi kehidupan baik dalam skala lahir atau pun
batin, personal atau pun sosial. Karena itu, agak pelik rasanya bagi kita untuk
memilah-milah pembahasan irfan dan pembahasan non-irfan di antara sabda-sabda
Baginda Ali As dalam Najh al-Balaghah
dan selain Nahj al-Balaghah.
Sementara kita saksikan bahwa Baginda Ali As sendiri dalam setiap kondisi
senantiasa bersandar pada pembahasan irfan. Lantaran akar seluruh kerugian
lahiriyah dan batin manusia bertitik tolak dari kehampaan makrifatnya. Dan
tidak ada jalan keselamatan bagi manusia kecuali melalui jalan irfan sejati dan
makrifatuLlah dalam artian yang
sesungguhnya.
Kepribadian Ali bin Abi Thalib As
sebagai imam para arif (Imam al-Arifin)
sepanjang perjalanan sejarah memiliki pengaruh dalam terbentuknya irfan Islami
dan arif terbesar dalam dunia Islam adalah Baginda Ali As yang dipandang
sebagai kutub (polar) seluruh arif dan pengaruh ini telah ada bahkan sebelum
tersusunnya kitab Nahj al-Balaghah.
Namun demikian, Nahj al-Balaghah sebagai
sumber yang sarat dengan pembahasan-pembahasan irfan pada dimensi teoritis (nazhari) dan praktis (amali) yang menjadi obyek perhatian
para peneliti. Mengingat bahwa seluruh kandungan Nahj al-Balaghah memuat wejangan-wejangan yang
menyampingkan akar pembahasan dunia, dengan menelaahnya sendiri menjadi sebab
bangun dan terjaganya seseorang, tercapainya wara dan ketataan kepada Allah Swt
yang merupakan pendahuluan yang mesti harus dilalui dalam titian perjalanan
pembahasan irfan.
Pertanyaan ini telah diupayakan
dijawab secara logis dan runut yang akan dibagi menjadi tiga bagian:
1. Irfan Para Imam
Irfan para Imam Maksum As dengan
satu kata adalah batin syariat Islam yang terwujud dengan sentral kepribadian
para Imam Maksum As. Kedudukan imamah
secara esensial adalah kedudukan manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan
manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. Irfan para Imam Maksum As
merupakan setinggi-tinggi madrasah Ilahi yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan manusia dan jalan lurus sair-suluk
manusia untuk mencapai kesempurnaan khilafah Ilahi di muka bumi.
Untuk mengidentifikasi irfan para
Imam Maksum As an membedakannya dengan irfan lancung atau cacat, cukup bagi
kita mengetahui bahwa apa saja yang tidak ada dalam irfan para Imam Maksum As?
Irfan para Imam Maksum As adalah irfan yang berasaskan cinta (isyq) dan
makrifat. Dalam madrasah ini, meski perkara metafisika tampak menonjol, namun
ia bukan menjadi satu-satunya tujuan yang disasar. Karena itu, para imam tidak
menaruh perhatian pada irfan-irfan Dajjal yang telah ada pada masa mereka hidup
dan bahkan memeranginya. Tipologi lainnya yang terdapat pada irfan para Imam
Maksum As yang merupakan prinsip asasi adalah kesatuan syariat, tarekat dan
hakikat. Hal ini bermakna bahwa irfan adalah batin syariat dan kesempurnaan
bagi syariat. Dalam irfan, hukum-hukum dan ibadah lebih memiliki kekayaan dan
kedalaman serta akan menampakkan hakikatnya. Bukan dengan dalih kefasikan dan
sikap permisif kemudian syariat dikesampingkan dan hampa nilai dan kedudukan
amalan sebagaiamana yang terdapat pada irfan-irfan lancung.
Demikian juga, irfan para Imam
Maksum As adalah irfan yang bertanggung jawab dan ahli mujahadah. Dan terkait dengan masyarakatnya, irfan memiliki
risalah dan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak irfan ini adalah makam syahadah (penyaksian) dan irfan yang
mencakup cahaya-cahaya para Imam Maksum As sejatinya adalah seorang syahid yang
hidup (yang menyaksikan cahaya kebenaran dalam hidupnya).
Dari sisi teori, pembahasan
masalah irfan Islam dalam bentuknya yang orisinil adalah irfan yang diadopsi
dari para Imam Maksum As, yang tidak mungkin diurai secara panjang lebar pada
kesempatan ini. Apa yang dikemukakan di hanyalah sebagai pendahuluan dan
mukaddimah yang benar untuk mencapai irfan orisinil ini. Dan kebanyakan para
arif besar membahas masalah ini. Demikian juga pada dimensi amalan, diperlukan
hubungan dengan seseorang yang cakap dan pandai dalam irfan para imam (insan
kamil) yang merupakan rukun utama irfan.
2. Irfan dan Baginda Ali
Meski Nahj al-Balaghah adalah samudra irfan yang tak bertepi, namun
pengaruh utama Imam Ali As dalam irfan adalah lebih menonjol karena kepribadian
dan spirit irfan yang dimilikinya. Demikian juga, banyak masalah-masalah irfan
dalam sabda-sabda dan ucapan-ucapan Baginda Ali As tidak terekam dalam Nahj al-Balaghah.
Sebagai contoh, sabda-sabda Baginda
Ali As yang disampaikan kepada Kumail yang bertanya ihwal hakikat. Sabda-sabda
ini dalam pembahasan irfan merupakan sabda-sabda yang menakjubkan namun
mengingat sabda-sabda tersebut tidak termasuk bagian pidato-pidato Baginda Ali
As maka sabda-sabda tersebut tidak disebutkan dalam Nahj al-Balâgha. Karena itu, patut kiranya kita memperhatikan
persoalan ini bahwa Nahj al-Balaghah
mencakup sebagian khutbah Baginda Ali As yang kebanyakan berisikan indzar dan peringatan kepada
masyarakat bahkan bagi mereka yang tidak kuasa menahan keadilan Baginda Ali As!
Apatah lagi kebanyakan orang adalah orang-orang yang berhasrat irfani kepada
Baginda Ali. Kendati dalam beberapa hal khusus, Baginda Ali As menjelaskan
makam-makam irfaninya dalam rangka menuntaskan hujjah bagi semua orang, namun
sepanjang sejarah, karena adanya penentangan atau karena taqiyyah, pembahasan
ini kurang dikumpulkan dan sebagian arif dan ahli hadis yang mengumpulkan
pembahasan-pembahasan tinggi irfan Baginda Ali As, telah menjadi sasaran
tuduhan ghuluw (dianggap telah
menuhankan Baginda Ali) dan tudingan-tudingan lainnya. Karena itu, perjalanan
sejarah irfan ini tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pembahasan irfan
Baginda Ali As.
Secara umum, masalah ini terdapat
pada sirah seluruh Imam Maksum As yang senantiasa memiliki sahabat-sahabat
pilihan dan rahasia. Para Imam Maksum As menyampakan hal-hal irfani kepada
mereka yang banyak berpengaruh pada kemunculan irfan Islam dan kebanyakan
silsilah pembahasan irfan berujung pada salah satu sahabat-sahabat pilihan ini.
Karena itu, bahwa Nahj al-Balâghah merupakan
sumber utama dan terbesar pembahasan irfan dan makrifat dan sepanjang sejarah
menjadi pusat perhatian, namun pengaruh yang diadopsi para arif dari Baginda
Ali As dilakukan bahkan sebelum penyusunan Nahj al-Balaghah. Pada masa-masa setelahnya, pengaruh ini tidak
terbatas pada Nahj al-Balaghah saja.
Di antaranya adalah Ibnu Arabi yang terpengaruh dari makam-makam batin Baginda
Ali As dan memandangnya sebagai batin seluruh nabi.
Demikian juga, Baginda Ali As sendiri dalam sebuah riwayat masyhur
yang disampaikan kepada Salman bersabda, “Ma’rifat yang aku miliki diperoleh
dengan cahaya makrifat Allah Swt dan makrifat Allah Swt dengan cahaya
makrifatku dan demikianlah agama yang sebenarnya.” Yang tergolong sebagai
riwayat yang panjang dalam bab irfan Islam.
3. Najh al-Balaghah dan Irfan
Terdapat
banyak tuturan dan sabda yang dinukil dari Baginda Ali As terkait dengan
pembahasan irfan yang sebagiannya terhimpun dalam Nahj al-Balaghah. Namun perlu kiranya kita menyebutkan hal ini
bahwa pemisahan masalah-masalah irfan dengan pembahasan-pembahasan agama pada
dasarnya tidak memiliki tempat dalam ajaran Ahlulbait As. Lantaran jenis irfan
seperti ini menyangkut seluruh dimensi lahir dan batin, syariat, tarekat dan
hakikat. Namun demikian, untuk memenuhi pandangan para pembaca, tuturan-tuturan
para maksum dapat dipandang memiliki tingkatan dan derajat yang tentu saja
memiliki tipologi tersendiri, dari cara pandang ini, yang berkaitan dengan pembahasan
makrifatuLlah dan tarekat wushul (jalan untuk sampai) yang
merupakan salah satu inti pembahasan irfan.
Seluruh Nahj al-Balâgha Seluruh Najh
al-Balaghahmengandung nasihat-nasihat yang mengeluarkan fondasi
pembahasan dunia dan menyebabkan sampainya zuhud, wara, dan ketaatan kepada
Allah Swt yang tergolong sebagai pembahasan pendahuluan yang diperlukan dalam
bidang Irfan. Di samping itu, kebanyakan persoalan-persoalan akurat irfan dalam
masalah tauhid, makrifatuLlah,
ilmu tentang ma’ad, hari Kiamat
dan sebagianya disebutkan dalam Nahj
al-Balaghah. Yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam hal ini adalah
khutbah pertama Nahj al-Balaghah dalam
pembahasan tauhid yang merupakan sebaik-baik penjelasan irfan dan tergolong
sebagai kata kunci utama dalam pembahasan yang bertalian dengan tauhid irfani.
Ø Pengaruh Najh al-Balaghah pada Sejarah Peradaban Islam
Kita
ketahui bahwa pada penjelasan kita secbelumnya bahwa Najh al-Balaghah adalah
kumpulan khutbah, kata-kata, doa dan lain-lain, dan semua kumpulan tersebut
keluar dari sang Imam yakni ‘Ali a.s. maka, secara tidak langsung orang dari
belahan dunia lambat laun akan mengetahui tentang Najh al-Balaghah. Karena Najh
al-Balaghah adalah sebuah ucapan yang dituturkan atau diucapkan bukan dari
orang biasa, akan tetapi perkataan dalam Najh al-Balaghah langsung keluar dari
orang pilihan dan orang yang disayangi oleh Rasulullah SAW.
Walaupun
sekarang masih asing dikalangan muslim tentang Najh al-Balaghah suatu saat Najh
al-Balaghah akan menjadi kitab bersejarah di peradaban Islam. Dimana dituliskan
oleh Muruj al-Dzahab : “sekarang ini, ada sekitar 480 khutbah ‘Ali di tangan
masyarakat “. Jadi dengan begitu semakin
banyak yang mengetahui akan Najh al-Balaghah semakin orang akan tertarik
mengkaji Najh al-Balaghah. Dimana juga kita ketahui bahwa dunia Islam sekarang
sudah mulai banyak mengkaji Najh al-Balaghah beserta kandunganya. Oleh karena
itu bisa dikatakan Najh al-Balaghah mulai menaklukan dunia Muslim. Dengan
demikian Naj al-Balaghah akan di kenang sepanjang zaman dan sepanjang sejarah
umat Islam.
Ø Kata-kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib
Sayyidina
‘Ali k.w berkata:
“Wahai
manusia, bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilangan aku, sesunguhnya aku
ini lebih mengetahui jalan-jalan langit daripada jalan-jalan bumi. Bahkan aku
mengetahui sebelum bencana itu terjadi dan menghempaskan impian-impian umat ini.”
Ø Keesaan dan Ketuhanan
1. Imam
Ali a.s, setelah mengerjakan shalat malam, biasa mengucapkan doa ini:
aku bersaksi bahwa langit dan bumi serta apa yang
ada di antara keduanya adalah tanda-tanda yang menunjukan kepada-Mu. Semua
bukti itu bersaksi atas apa yang telah Engkau serukan kepadanya. Segala hal
yang menunjukan tentang diri-Mu adalah hujah dan dia bersaksi kepada-Mu ataas
sifat ketuhan-Mu.
Aku berlindung kepada-Mu dari mengisyaratkan dengan
mengisyaratkan dengan hati, lisan, atau tangan kepada selain-Mu. Tidak ada Tuhan
kecuali Engkau. Allah yang mahaesa, Mahatunggal, dan Mahakekal, dan
kepada-Mulah kami berserah diri.
2. Maukah
aku tunjukkan kepada kalian buah surga? Ia adalah
(kalimat),”La ila ha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah),dengan syarat ikhlas.
(kalimat),”La ila ha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah),dengan syarat ikhlas.
Ø Qadha’ dan Qadar (Takdir)
1. Imam
‘Ali a.s. pernah ditanya tentang Qadar (takdir), maka dia berkata : “(Takdir
adalah) jalan yang gelap, maka janganlah kalian melaluinya, lautan yang dalam,
maka janganlah kalian menyelaminya, dan rahasia Allah, maka janganlah kalian menyusahkan
diri kalian dengannya.”
2. Jika
telah datang takdir, sia-sialah kehati-hatian.
Ø Ahlul Bait
1. Ketahuilah,
sesungguhnya perumpamaan keluarga Muhammad saw. Seperti bintang-bintang di
langit. Jika satu bintang terbenam, maka bintang yang lainya muncul. Maka,
seakan-akan karunia Allah telah disempurnakan kepada kalian, dan Dia telah
memperlihatkan kepada kalian apa yang dahulu kalian harapkan.
2. Mereka
Ahlul Bait, adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya,
perbendaharaan ilmu-Nya, sumber kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitabnya,
dan bukit bagi agamanya. Dengan merekalah Allah meluruskan punggung agama yang
bengkok dan menghilangkan gemetaran anggota-anggota badannya[8].
BAB III
Daftar
pustaka
1. Muthahhari
Murtadha, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah
(penerbit Islamic Center, Jakarta 2002)
2. Fadhullah
syaikh al-Ha’iri,Kata-kata Mutiara Ali
bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal:15,21,31
[1] Syaikh
Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia,
IKAPI,2004 )hal : 11-12
[2] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :11-12
[3] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :15-17
[4] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :17-18
[5] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :28-30
[6] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :32-33
[7] Murtadha
Muthahhari, Tema-tema pokok Najh
al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :37-38
[8] Syaikh
Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia,
IKAPI,2004 )hal:15,21,31
ini soundtracnya bagus imit,,,,
BalasHapus