Rabu, 23 Januari 2013

Najh al-Balaghah dan kata mutiara imam ali



Ø  Selayang pandang

Nama : Ali Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.
Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid
Makam : Baqi' Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan
Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor
Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum

Ø  Kelahiran Imam Ali zainal Abidin as

Pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan
negeri Persia (Iran). Atas kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia.

Tatkala kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri raja tidak boleh diperjualbelikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah dengannya."
Sang putri raja itu menjatuhkan pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya dengan baik dan santun.
Beliau mengatakan, "Wahai Abu Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia."
ia, dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.

Ø  Amirul Mukminin ‘Ali a.s

Amirul mukminin ‘Ali a.s. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam sabda beliau, “Ali di sisiku seperti diriku,. Ketaatan kepadanya sama dengan ketaatan kepadaku, dan kemaksiatan kepadanya sama dengan bermaksiat kepadaku”.
Oleh karena itu, kecintaan kepada ‘Ali a.s menjadi simbol keimanan, sedangkan kebencian kepadanya adalah simbol kemunafikan.
Sesungguhnya kedekataan ‘Ali a.s. cintanya, dan ketaatanya kepada Rasullah saw. Tidak diragukan lagi merupakan faktor utama dalam kemuliaannya dan kesiapannya dalam menerima pengetahuan-pengetahuan lahir batin, hikmah-hikmah yang agung, dan perwaliannya. Oleh karena itu pula, kefasihan Imam Ali a.s. unggul dibandingkan yang lainya dan ucapan-ucapannya sarat dengan nilai-nilai yang luhur.
Dalam perjalan sejarah, muncul upaya-upaya untuk membukuksn ucapan-ucapan Imam Ali a.s dan khutbah=khutbahnnya. Di antara upaya-upaya yang paling pentung dan tergolong pelopor ini adalah apa yang dipilih oleh Syarif Ar-Radhiyy berupa kumpulan khutbah, surat, hikmah, dan nasihat-nasihat. Setelah itu. Bermunculan karangan-karangan lain yang berupa menambah apa yang telah dikumpulkan oleh Syarif Ar-Radhuyy[1].

Ø  Najh Al-Balaghah

Najh al-balaghah merupakan kumpulan khutbah, doa-doa, nasihat, surat-surat, dan hikmah-hikmah singkat terkenal Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as. Kitab ini disusun oleh Sayyid Syarif al-Radhi ra sekitar seribu tahun silam. Walaupun demikian lamanya waktu yang berjalan tidaklah mengurangi dan menghilangkan kesegaran karya ini, justru kian menambah nilai dan bobot buku tersebut secara terus menerus di saat sejumlah konsep dan gagasan bermunculan.
Tidak asing lagi, ini berkat kefasihan Ali as dalam menyampaikan sejumlahbesar khutbahnya sehungga menjadi terkenal, demikan pula sejumlah ucapan hikmah filosofis terdengar dari lisannya. Ia menulis banyak surat. Terutama ketika masa-masa kekhalifahannya yang dicatat para pengikutnya dan dipelihara dengan penuh perhatian dan antusiasme yang luar biasa. Al-Mas udi, yang hidup hampir sebelum sayyid al-Radhi, dalam jilid kedua kitabnya, Muruj al-Dzahab, di bawah tajuk fi Dzir Luma min Kalamihi, wa zuhdih, mengatakan :
Dalam berbagai kesempatan, lebih dari 480 buah. Ali biasa menyampaikan khutbah tanpa melakukan persiapan apapun sebelumnya. Orang-orang mencatat ucapan-ucapanya dan secara praktis memperoleh manfaat dari khutbah-khutbah tadi.
Pernyataan seorang peneliti termasyur dan sarjana seperti al-Mas’udi menegaskan banyaknya ucapan Ali yang ada di zamannya. Dari jumlah tersebut, yang ada dalam Najh al-balaghah hanya 239 buah. Padahal, sebagaiamana disebutkan oleh al-Mas’udi, jumlah pidatonya lebih dari 480 buah, bahkan al-Mas’udi, mengatakan kepada kita tentang dedikasi dan gairah luar biasa dari sejumlah orang dalam mencatat dan memelihara ucapan-ucapan Ali[2].

Ø  Keindahan dan Kefasihan Satra

Aspek Najh al-Balaghah pada sisi keindahan dan kefasihan sastra ini tidak memerlukan kata pengantar bagi pembaca yang memiliki cita rasa satra yang mampu mengapresiasi keindahan dan kefasihan bahasa. Pada dasarnya, keindahan merupakan sesuatu yang dirasakan dan dialami dan bukan untuk diuraikan ataupun didefenisikan. Setelah hampir empat belas abad, Najh al-Balaghah tetap mengandung daya tarik, kesegaran, keindahan, dan pesona yang sama bagi pembaca modern sebagaimana yang dimiliki bagi orang-orang dulu. Disini, kami tidak bermaksud untuk menguraikan bukti dari klaim ini. Sebab itu, sebagaimana suatu bagian dari khutbah-khutbah kam, kami akan memaparkan secara ringkas kekuatan menajubkan dari ucapan-ucapan Imam Ali yang menggetarkan hati dan menyunyikkan perasaan kagum ke dalamnya. Kami akan memulai dengan masa-masa Ali sendiri dan menelusuri pengaruh dari khutbah-khutbahnya melalui perubahan-perubahan dan variasi-variasi dalam cita rasa, pandagan, dan modus pemikiran selama masa-masa suksesif yang berbeda sampai hari ini.
Para sahabat Ali as, terutama mereka yang memiliki cita rasa bahasa dan satra, sangat menghargainya sebagai seorang ahli pidato. Salah seorang dari mereka, abd Allah bin al-Abbas, sebagaimana ditunjukan oleh al-Jahizh dalam tidak menutupi kegemarannya untuk mendegarkan ‘Ali berbicara atau kepuasan yang ia dapatkan darinya. Suatu saat ketika Ali tengah menyampaikan khutbahnya yang termasyhur disebut al-Syiqsyiqiyyah, Ibn al-Abbas juga hadir ketika Ali tengah berbicara, seorang awam dari kufah menyerahkan sepucuk kertas berisikan sejumlah pertannyaan  sehingga Ali menghentikan khutbahnnya. Setelah membaca surat ini, Ali tidak melanjutkan khutbahnnya meskipun Ibn al-Abbas mendorongnya untuk meneruskan khutbah tadi. Lalu Ibn al-Abbas mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam atas peristiwa tersebut, “Seumur hidup belum pernah aku begitu bersedih karena terputusnnya suatu khutbah seperti yang kualami dalam khutbah ini.
Merujuk kepada sebuah surat bahwasanya Ali telah menyuratinya, Ibn al-Abbas mengatakan : “Selain pembicaraan Nabi saw, aku menarik banyak manfaat dari ucapan ini.”
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, musuh paling sengit Ali pun mengakui kefasihannya yang luar biasa. Ketika Muhqin bin Abi Muhqin menggoyang Ali dan bergabung dengan Mu’awiyah, untuk menyenangkan Mu’awiyah yang hatinya penuh dengan benci dan hasud kepada Ali, ia berkata, “Aku telah meninggalkan manusia yang paling tolol dan datang kepadamu. “Ungkapan keji dari jenis sanjungan yang berlebihan ini begitu jelas sehingga Mu’awiyah mengecamnya seraya mengatakan: “Apa katamu? Kau sebut Ali manusia paling tolol? Orang-orang Quraisy sebelumnya tidak mengetahui kefasihan berbicara. Dialah yang mengajari mereka seni kefasihan bicara[3].”

Ø  Pengaruh Khutbah Ali

Bagi mereka yang mendegar pidato Ali dari atas mimbar akan terpengaruh oleh kata-katanya. Khutbah-khutbahnya akan membuat pendegarnya tergoncang hatinya dan meneteskan air mata. Bahkan sekarang, siapa yang bisa mendegar atau membaca khutbah-khutbah Ali tanpa trgoncang hatinya? Sayyid ar-Ridhi, setelah meriwayatkan pidato terkenal Ali yang disebut al-Gharra, mengatakan :
Ketika Ali menyampaikan khutbahnya, air mata mengalir dari mata para pendegarnya dan hati-hati tergoncang penuh emosi.
Salah seorang sahabat Ali Hammam bin Syuraih adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan cinta kepada Allah. Jiwanya dibakar dengan kehidupan spritual. Sekali waktu, ia memohon Ali untuk melukiskan sifat-sifat orang takwa. Disatu sisi, Ali tidak ingin menolak permohonnya,dan sisi lain, ia khawatir bahwa Hammam tidak mampu menahan apa yang Ali katakan. Oleh karena itu, ia menghindar dari permohonan ini dengan hanya memberikan penjelasan alakadarnya ihwal ciri orang takwa. Hammam tidak terpuaskan dengan jawaban tersebut. Namun demikian ini membuat antusiasmenya makin bertambah dan ia meminta Ali untuk menjelaskan lebih jauh perihal sifat orang takwa.
Ali memulai khutbah terkenalnya itu dan memaparkan sifat-sifat muttaqin tersebut. Sekitar 105 sifat yang dilukiskan Ali mengenai sifat orang yang bertakwa dan ia ingin Ali terus menggambarkan lebih jauh. Namun begitu kata-kata Ali mengalir deras, Hammam terbawa pada puncak kebahagian. Hatinya bergetar, ruhnya melayang kepada batas emosi yang sangat jauh, hasratnya melambung bagaikan brung yang gelisah yang mencoba keluar dari sarangnya. Tiba tiba, terdengar tangisan yang menyayat dan orang-orang saling menenggok ke kiri dan kanan mencari sumber tangisan yang tidak ada orang lain selain Hammam sendiri. Mereka mendapatkan jiwanya telah terbang dari bumi memasuki alam baka. Ketika ini terjadi Ali berkata, dengan nada pujian sekaligus sesal: “sungguh, demi Allah, sejak pertama aku sudah khawatir hal ini akan terjadi atasnya. Beginikah akibat yang ditimbulkan oleh nasihat-nasihat yang mendalam pada hati nan rawan “ini merupakan sebuah contoh pengaruh khutbah ‘Ali yang tertanam pada pikiran-pikiran dan kalbu-kalbu para sahabat setianya[4].

Ø  Najh al-Balaghah di Antara Satra Klasik

Kebanyakan bangsa mempuyai karya-karya satra tertentu dianggap sebagai adikarya atau klasik. Di sini, kami akan membatasi kajian kami pada karya sastra klasik berbahasa Arab dan Parsi yang nilai yang nilai-nilainya secara relatif dapat dilihat oleh kita dengan mengecualikan karya-karya klasik di dunia kuno, Yunani dan Romawi dan seterusnya serta adikarya-adikarya zaman modern dari Italia, Inggris Prancis, dan negeri-negeri lain, untuk dikaji dan dievaluasi oleh pihak-pihak yang akrab dan cakap atsa karya-karya tersebut.
Sudah tentu, keputusan akurat mengenai karya klasik berbahasa Arab dan Parsi hanya mungkin bagi para sarjana yang memiliki spesialisasi bidang terkait. Namun merupakan fakta yang bisa diterima bahwa setiap pengarang adikarya ini hanya besar dibidang tertentu. Tidak di setiap aspek. Lebih tepatnya lagi, setiap penulis dari adikarya ini hanya memperlihatkan kepiwaiannya pada satu bidang tertentu, bidang khusus yang menentukan kecerdasaan mereka. Terkadang, jika mereka telah meninggalkan bidang khusus meraka untuk melangkah ke wilayah lain, maka mereka gagal secara menyedihkan.
Dalam Najh al-Balaghah ada satu kisah. Suatu saat Imam Ali ditanya “siapakah penyair yang paling menonjol di kalangan bangsa arab?” Ali menjawab:
Tak syak lagi, semua penyair tidak menapaki suatu jalan tunggal sehingga anda bisa menyebutkan pemimpin dari para pengikutnya. Namun jika orang terpaksa untuk memilih salah satu di antara mereka, aku akan mengatakan bahwa yang paling menonjol di kalangan mereka adalah Malik al-Dillil (gelar Umru’ al-Qays)[5].

Ø  Kecakapan Ali

            Salah satu karakter yang menonjol dari ucapan Imam Ali yang telah sampai kepada kita dalam bentuk Najh al-Balaghah adalah bahwa ucapan-ucapanya tidak terbatas pada satu bidang tertentu. ‘Ali as, dalam kata-katanya sendiri, tidak terpaku hanya pada satu cara, namun mencakup pelbagai landasan, yang terkadang sangat antitesis. Najh al-Balaghah merupakan sebuah adikarya, tapi bukan tergolong dari salah satu jenis karya semisal epik , ghazal, khutbah, eulogy (pantun puji-pujian), puisi satir dan cinta. Sebaliknya, ia mencakup bidang-bidang multimedimensi, sebagaimana akan dijelaskan.
            Sesungguhnya, karya-karya yang tergolong adikarya dalam satu bidang tertentu memang ada, namun jumlajnya tidak besar dan bisa di hitung dengan jari. Jumlah karya-karya yang mencakup sejumlah subjek namun bukan adikarya sangat banyak. Namun sebuah adikarya yang secara serentak tidak membatasi dirinya kepada satu subjek tertentu merupakan suatu nilai eksklusif dari Najh al-Balaghah. Kecuali Al-Qur’an, yang secara total merupakan subjek yang berbeda berkaitan dengan tema tadi, maka adikarya apa yang bisa dibandingkan dengan Najh al-Balaghah dalam hal keserbagunaanya?
Bicara merupakan representasi jiwa dan kata-kata seorang manusia berkaitan dengan lingkungan yang dihuninya. Tentu saja pembicaraan yang terkait dengan ruang lingkup berdemensi banyak merupakan karakteristik dari jiwa Ali tidak terbatas pada ranah tertentu namun meliputi berbagai ruang lingkup dan ia dalam termenologi tasawuf Islam, adalah al-insan al-kamil (manusia sempurna) al-kawn al-jami’(mikrokosmos utuh) dan jami’ kull al-haddharat, pemilik semua nilai kebajikan yang luhur, sehingga pembicaraanya tidak terbatas pada satu ruang lingkup tertentu. Dengan demikian sebagaimana yang akan kami katakan, dalam istilah dewasa ini, nilai ‘Ali terletak pada watak tutur katanya yang multidimensional, yang berbeda dengan karya-karya yang berwatak satu demensi. Watak serba mencakup dari jiwa Ali dan pembicaraanya bukanlah penemuan baru. Ia merupakan suatu karakter yang telah memunculkan perasaan takjub, setidaknya sejak seribu tahun yang lalu. Kualitas inilah yang telah memikat perhatian Sayyid al-Radhi seribu tahu silam. Untuk alasan itulah. Ia tertarik dengan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Ali[6].

Ø  Tema-tema Najh al-Balaghah

Berbagai tema dan topik dibahas dalam Najh al-Balaghah, yang membuka spektrum luas dari masalah-masalah yang mewarnai dan mencoraki kedalam wacana-wacana Illahi ini. Penulis disertai ini tidak punya pretensi dan memiliki kapasitas untuk merampungkan buku itu dengan penuh keadilan dan menganalisnya secara mendalam. Say8a hanya bermaksud memberi laporan ringkas akan pelbagai tema yang ada pada kitab itu, dan adalah keyakinan kukuh saya bahwa orang lain akan tampil dimasa depanlah yang akan sanggup untuk bebuat adil terhadap adikarya dari kefasihan bicar tokoh ini.
Sekilas tentang berbagai problem yang tercakup oleh Najh al-Balaghah
Berbagai topik yang dijumpai dalam Najh al-Balaghah yang masing-masing merupakan bahasan bermanfaat, dapat digambarkan sebagai berikut :
·         Masalah teologi dan metafisika
·         Jalan mistik dan ibadah
·         Pemerintahan dan keadilan sosial
·         Ahlulbait dan isu kekhalifahan
·         Hikmah dan nasihat
·         Dunia dan keduniaan
·         Heroisme dan kegagahan
·         Kenabian, predeksi, dan eskatologi
·         Doa dan munajat
·         Kritik masyarakat kontenporer
·         Filsafat sosial
·         Islam dan al-qur’an
·         Moralitas dan disiplin diri
·         Kepribadiann, dan serangkaian topik lainnya[7].

Ø  Irfan dalam Najh al-Balaghah

Irfan Baginda Ali As dan para Imam Maksum adalah irfan yang tidak terpisah dari Islam dan al-Qur’an, bahkan irfan mereka adalah hakikat Islam dan batin syariat. Mengikut pandangan ini, irfan sejati mencakup seluruh dimensi kehidupan baik dalam skala lahir atau pun batin, personal atau pun sosial. Karena itu, agak pelik rasanya bagi kita untuk memilah-milah pembahasan irfan dan pembahasan non-irfan di antara sabda-sabda Baginda Ali As dalam Najh al-Balaghah dan selain Nahj al-Balaghah. Sementara kita saksikan bahwa Baginda Ali As sendiri dalam setiap kondisi senantiasa bersandar pada pembahasan irfan. Lantaran akar seluruh kerugian lahiriyah dan batin manusia bertitik tolak dari kehampaan makrifatnya. Dan tidak ada jalan keselamatan bagi manusia kecuali melalui jalan irfan sejati dan makrifatuLlah dalam artian yang sesungguhnya.
Kepribadian Ali bin Abi Thalib As sebagai imam para arif (Imam al-Arifin) sepanjang perjalanan sejarah memiliki pengaruh dalam terbentuknya irfan Islami dan arif terbesar dalam dunia Islam adalah Baginda Ali As yang dipandang sebagai kutub (polar) seluruh arif dan pengaruh ini telah ada bahkan sebelum tersusunnya kitab Nahj al-Balaghah.
Namun demikian, Nahj al-Balaghah sebagai sumber yang sarat dengan pembahasan-pembahasan irfan pada dimensi teoritis (nazhari) dan praktis (amali) yang menjadi obyek perhatian para peneliti. Mengingat bahwa seluruh kandungan Nahj al-Balaghah memuat wejangan-wejangan yang menyampingkan akar pembahasan dunia, dengan menelaahnya sendiri menjadi sebab bangun dan terjaganya seseorang, tercapainya wara dan ketataan kepada Allah Swt yang merupakan pendahuluan yang mesti harus dilalui dalam titian perjalanan pembahasan irfan.
Pertanyaan ini telah diupayakan dijawab secara logis dan runut yang akan dibagi menjadi tiga bagian:

1. Irfan Para Imam

Irfan para Imam Maksum As dengan satu kata adalah batin syariat Islam yang terwujud dengan sentral kepribadian para Imam Maksum As. Kedudukan imamah secara esensial adalah kedudukan manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. Irfan para Imam Maksum As merupakan setinggi-tinggi madrasah Ilahi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dan jalan lurus sair-suluk manusia untuk mencapai kesempurnaan khilafah Ilahi di muka bumi.
Untuk mengidentifikasi irfan para Imam Maksum As an membedakannya dengan irfan lancung atau cacat, cukup bagi kita mengetahui bahwa apa saja yang tidak ada dalam irfan para Imam Maksum As? Irfan para Imam Maksum As adalah irfan yang berasaskan cinta (isyq) dan makrifat. Dalam madrasah ini, meski perkara metafisika tampak menonjol, namun ia bukan menjadi satu-satunya tujuan yang disasar. Karena itu, para imam tidak menaruh perhatian pada irfan-irfan Dajjal yang telah ada pada masa mereka hidup dan bahkan memeranginya. Tipologi lainnya yang terdapat pada irfan para Imam Maksum As yang merupakan prinsip asasi adalah kesatuan syariat, tarekat dan hakikat. Hal ini bermakna bahwa irfan adalah batin syariat dan kesempurnaan bagi syariat. Dalam irfan, hukum-hukum dan ibadah lebih memiliki kekayaan dan kedalaman serta akan menampakkan hakikatnya. Bukan dengan dalih kefasikan dan sikap permisif kemudian syariat dikesampingkan dan hampa nilai dan kedudukan amalan sebagaiamana yang terdapat pada irfan-irfan lancung.
Demikian juga, irfan para Imam Maksum As adalah irfan yang bertanggung jawab dan ahli mujahadah. Dan terkait dengan masyarakatnya, irfan memiliki risalah dan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak irfan ini adalah makam syahadah (penyaksian) dan irfan yang mencakup cahaya-cahaya para Imam Maksum As sejatinya adalah seorang syahid yang hidup (yang menyaksikan cahaya kebenaran dalam hidupnya).
Dari sisi teori, pembahasan masalah irfan Islam dalam bentuknya yang orisinil adalah irfan yang diadopsi dari para Imam Maksum As, yang tidak mungkin diurai secara panjang lebar pada kesempatan ini. Apa yang dikemukakan di hanyalah sebagai pendahuluan dan mukaddimah yang benar untuk mencapai irfan orisinil ini. Dan kebanyakan para arif besar membahas masalah ini. Demikian juga pada dimensi amalan, diperlukan hubungan dengan seseorang yang cakap dan pandai dalam irfan para imam (insan kamil) yang merupakan rukun utama irfan.

2. Irfan dan Baginda Ali

Meski Nahj al-Balaghah adalah samudra irfan yang tak bertepi, namun pengaruh utama Imam Ali As dalam irfan adalah lebih menonjol karena kepribadian dan spirit irfan yang dimilikinya. Demikian juga, banyak masalah-masalah irfan dalam sabda-sabda dan ucapan-ucapan Baginda Ali As tidak terekam dalam Nahj al-Balaghah.
Sebagai contoh, sabda-sabda Baginda Ali As yang disampaikan kepada Kumail yang bertanya ihwal hakikat. Sabda-sabda ini dalam pembahasan irfan merupakan sabda-sabda yang menakjubkan namun mengingat sabda-sabda tersebut tidak termasuk bagian pidato-pidato Baginda Ali As maka sabda-sabda tersebut tidak disebutkan dalam Nahj al-Balâgha. Karena itu, patut kiranya kita memperhatikan persoalan ini bahwa Nahj al-Balaghah mencakup sebagian khutbah Baginda Ali As yang kebanyakan berisikan indzar dan peringatan kepada masyarakat bahkan bagi mereka yang tidak kuasa menahan keadilan Baginda Ali As! Apatah lagi kebanyakan orang adalah orang-orang yang berhasrat irfani kepada Baginda Ali. Kendati dalam beberapa hal khusus, Baginda Ali As menjelaskan makam-makam irfaninya dalam rangka menuntaskan hujjah bagi semua orang, namun sepanjang sejarah, karena adanya penentangan atau karena taqiyyah, pembahasan ini kurang dikumpulkan dan sebagian arif dan ahli hadis yang mengumpulkan pembahasan-pembahasan tinggi irfan Baginda Ali As, telah menjadi sasaran tuduhan ghuluw (dianggap telah menuhankan Baginda Ali) dan tudingan-tudingan lainnya. Karena itu, perjalanan sejarah irfan ini tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pembahasan irfan Baginda Ali As.
Secara umum, masalah ini terdapat pada sirah seluruh Imam Maksum As yang senantiasa memiliki sahabat-sahabat pilihan dan rahasia. Para Imam Maksum As menyampakan hal-hal irfani kepada mereka yang banyak berpengaruh pada kemunculan irfan Islam dan kebanyakan silsilah pembahasan irfan berujung pada salah satu sahabat-sahabat pilihan ini.
Karena itu, bahwa Nahj al-Balâghah merupakan sumber utama dan terbesar pembahasan irfan dan makrifat dan sepanjang sejarah menjadi pusat perhatian, namun pengaruh yang diadopsi para arif dari Baginda Ali As dilakukan bahkan sebelum penyusunan Nahj al-Balaghah. Pada masa-masa setelahnya, pengaruh ini tidak terbatas pada Nahj al-Balaghah saja. Di antaranya adalah Ibnu Arabi yang terpengaruh dari makam-makam batin Baginda Ali As dan memandangnya sebagai batin seluruh nabi. Demikian juga, Baginda Ali As sendiri dalam sebuah riwayat masyhur yang disampaikan kepada Salman bersabda, “Ma’rifat yang aku miliki diperoleh dengan cahaya makrifat Allah Swt dan makrifat Allah Swt dengan cahaya makrifatku dan demikianlah agama yang sebenarnya.” Yang tergolong sebagai riwayat yang panjang dalam bab irfan Islam.

3. Najh al-Balaghah dan Irfan

Terdapat banyak tuturan dan sabda yang dinukil dari Baginda Ali As terkait dengan pembahasan irfan yang sebagiannya terhimpun dalam Nahj al-Balaghah. Namun perlu kiranya kita menyebutkan hal ini bahwa pemisahan masalah-masalah irfan dengan pembahasan-pembahasan agama pada dasarnya tidak memiliki tempat dalam ajaran Ahlulbait As. Lantaran jenis irfan seperti ini menyangkut seluruh dimensi lahir dan batin, syariat, tarekat dan hakikat. Namun demikian, untuk memenuhi pandangan para pembaca, tuturan-tuturan para maksum dapat dipandang memiliki tingkatan dan derajat yang tentu saja memiliki tipologi tersendiri, dari cara pandang ini, yang berkaitan dengan pembahasan makrifatuLlah dan tarekat wushul (jalan untuk sampai) yang merupakan salah satu inti pembahasan irfan.
Seluruh Nahj al-Balâgha Seluruh Najh al-Balaghahmengandung nasihat-nasihat yang mengeluarkan fondasi pembahasan dunia dan menyebabkan sampainya zuhud, wara, dan ketaatan kepada Allah Swt yang tergolong sebagai pembahasan pendahuluan yang diperlukan dalam bidang Irfan. Di samping itu, kebanyakan persoalan-persoalan akurat irfan dalam masalah tauhid, makrifatuLlah, ilmu tentang ma’ad, hari Kiamat dan sebagianya disebutkan dalam Nahj al-Balaghah. Yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam hal ini adalah khutbah pertama Nahj al-Balaghah dalam pembahasan tauhid yang merupakan sebaik-baik penjelasan irfan dan tergolong sebagai kata kunci utama dalam pembahasan yang bertalian dengan tauhid irfani.

Ø  Pengaruh Najh al-Balaghah pada Sejarah Peradaban Islam

Kita ketahui bahwa pada penjelasan kita secbelumnya bahwa Najh al-Balaghah adalah kumpulan khutbah, kata-kata, doa dan lain-lain, dan semua kumpulan tersebut keluar dari sang Imam yakni ‘Ali a.s. maka, secara tidak langsung orang dari belahan dunia lambat laun akan mengetahui tentang Najh al-Balaghah. Karena Najh al-Balaghah adalah sebuah ucapan yang dituturkan atau diucapkan bukan dari orang biasa, akan tetapi perkataan dalam Najh al-Balaghah langsung keluar dari orang pilihan dan orang yang disayangi oleh Rasulullah SAW.
Walaupun sekarang masih asing dikalangan muslim tentang Najh al-Balaghah suatu saat Najh al-Balaghah akan menjadi kitab bersejarah di peradaban Islam. Dimana dituliskan oleh Muruj al-Dzahab : “sekarang ini, ada sekitar 480 khutbah ‘Ali di tangan masyarakat “.  Jadi dengan begitu semakin banyak yang mengetahui akan Najh al-Balaghah semakin orang akan tertarik mengkaji Najh al-Balaghah. Dimana juga kita ketahui bahwa dunia Islam sekarang sudah mulai banyak mengkaji Najh al-Balaghah beserta kandunganya. Oleh karena itu bisa dikatakan Najh al-Balaghah mulai menaklukan dunia Muslim. Dengan demikian Naj al-Balaghah akan di kenang sepanjang zaman dan sepanjang sejarah umat Islam.

Ø  Kata-kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib

    Sayyidina ‘Ali k.w berkata:
“Wahai manusia, bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilangan aku, sesunguhnya aku ini lebih mengetahui jalan-jalan langit daripada jalan-jalan bumi. Bahkan aku mengetahui sebelum bencana itu terjadi dan menghempaskan impian-impian umat ini.”

Ø  Keesaan dan Ketuhanan

1.      Imam Ali a.s, setelah mengerjakan shalat malam, biasa mengucapkan doa ini:
aku bersaksi bahwa langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya adalah tanda-tanda yang menunjukan kepada-Mu. Semua bukti itu bersaksi atas apa yang telah Engkau serukan kepadanya. Segala hal yang menunjukan tentang diri-Mu adalah hujah dan dia bersaksi kepada-Mu ataas sifat ketuhan-Mu.
Aku berlindung kepada-Mu dari mengisyaratkan dengan mengisyaratkan dengan hati, lisan, atau tangan kepada selain-Mu. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Allah yang mahaesa, Mahatunggal, dan Mahakekal, dan kepada-Mulah kami berserah diri.
2.      Maukah aku tunjukkan kepada kalian buah surga? Ia adalah
(kalimat),”La ila ha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah),dengan syarat ikhlas.
Ø  Qadha’ dan Qadar (Takdir)
1.      Imam ‘Ali a.s. pernah ditanya tentang Qadar (takdir), maka dia berkata : “(Takdir adalah) jalan yang gelap, maka janganlah kalian melaluinya, lautan yang dalam, maka janganlah kalian menyelaminya, dan rahasia Allah, maka janganlah kalian menyusahkan diri kalian dengannya.”
2.      Jika telah datang takdir, sia-sialah kehati-hatian.

Ø  Ahlul Bait
1.      Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan keluarga Muhammad saw. Seperti bintang-bintang di langit. Jika satu bintang terbenam, maka bintang yang lainya muncul. Maka, seakan-akan karunia Allah telah disempurnakan kepada kalian, dan Dia telah memperlihatkan kepada kalian apa yang dahulu kalian harapkan.
2.      Mereka Ahlul Bait, adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, perbendaharaan ilmu-Nya, sumber kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitabnya, dan bukit bagi agamanya. Dengan merekalah Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menghilangkan gemetaran anggota-anggota badannya[8].

 

 

BAB III

Daftar pustaka
1.      Muthahhari Murtadha, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002)
2.      Fadhullah syaikh al-Ha’iri,Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal:15,21,31


[1] Syaikh Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal : 11-12
[2] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :11-12
[3] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :15-17
[4] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :17-18
[5] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :28-30
[6] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :32-33
[7] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :37-38
[8] Syaikh Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal:15,21,31

1 komentar:

Rabu, 23 Januari 2013

Najh al-Balaghah dan kata mutiara imam ali



Ø  Selayang pandang

Nama : Ali Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.
Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid
Makam : Baqi' Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan
Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor
Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum

Ø  Kelahiran Imam Ali zainal Abidin as

Pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan
negeri Persia (Iran). Atas kemenangan ini, laskar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, Kisra Persia.

Tatkala kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri raja tidak boleh diperjualbelikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka ia berhak menikah dengannya."
Sang putri raja itu menjatuhkan pilihannya kepada junjungan kita, Imam Husain bin Ali as sebagai pasangan hidupnya. Amirul Mukminin Ali as berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya dengan baik dan santun.
Beliau mengatakan, "Wahai Abu Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia."
ia, dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.

Ø  Amirul Mukminin ‘Ali a.s

Amirul mukminin ‘Ali a.s. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam sabda beliau, “Ali di sisiku seperti diriku,. Ketaatan kepadanya sama dengan ketaatan kepadaku, dan kemaksiatan kepadanya sama dengan bermaksiat kepadaku”.
Oleh karena itu, kecintaan kepada ‘Ali a.s menjadi simbol keimanan, sedangkan kebencian kepadanya adalah simbol kemunafikan.
Sesungguhnya kedekataan ‘Ali a.s. cintanya, dan ketaatanya kepada Rasullah saw. Tidak diragukan lagi merupakan faktor utama dalam kemuliaannya dan kesiapannya dalam menerima pengetahuan-pengetahuan lahir batin, hikmah-hikmah yang agung, dan perwaliannya. Oleh karena itu pula, kefasihan Imam Ali a.s. unggul dibandingkan yang lainya dan ucapan-ucapannya sarat dengan nilai-nilai yang luhur.
Dalam perjalan sejarah, muncul upaya-upaya untuk membukuksn ucapan-ucapan Imam Ali a.s dan khutbah=khutbahnnya. Di antara upaya-upaya yang paling pentung dan tergolong pelopor ini adalah apa yang dipilih oleh Syarif Ar-Radhiyy berupa kumpulan khutbah, surat, hikmah, dan nasihat-nasihat. Setelah itu. Bermunculan karangan-karangan lain yang berupa menambah apa yang telah dikumpulkan oleh Syarif Ar-Radhuyy[1].

Ø  Najh Al-Balaghah

Najh al-balaghah merupakan kumpulan khutbah, doa-doa, nasihat, surat-surat, dan hikmah-hikmah singkat terkenal Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as. Kitab ini disusun oleh Sayyid Syarif al-Radhi ra sekitar seribu tahun silam. Walaupun demikian lamanya waktu yang berjalan tidaklah mengurangi dan menghilangkan kesegaran karya ini, justru kian menambah nilai dan bobot buku tersebut secara terus menerus di saat sejumlah konsep dan gagasan bermunculan.
Tidak asing lagi, ini berkat kefasihan Ali as dalam menyampaikan sejumlahbesar khutbahnya sehungga menjadi terkenal, demikan pula sejumlah ucapan hikmah filosofis terdengar dari lisannya. Ia menulis banyak surat. Terutama ketika masa-masa kekhalifahannya yang dicatat para pengikutnya dan dipelihara dengan penuh perhatian dan antusiasme yang luar biasa. Al-Mas udi, yang hidup hampir sebelum sayyid al-Radhi, dalam jilid kedua kitabnya, Muruj al-Dzahab, di bawah tajuk fi Dzir Luma min Kalamihi, wa zuhdih, mengatakan :
Dalam berbagai kesempatan, lebih dari 480 buah. Ali biasa menyampaikan khutbah tanpa melakukan persiapan apapun sebelumnya. Orang-orang mencatat ucapan-ucapanya dan secara praktis memperoleh manfaat dari khutbah-khutbah tadi.
Pernyataan seorang peneliti termasyur dan sarjana seperti al-Mas’udi menegaskan banyaknya ucapan Ali yang ada di zamannya. Dari jumlah tersebut, yang ada dalam Najh al-balaghah hanya 239 buah. Padahal, sebagaiamana disebutkan oleh al-Mas’udi, jumlah pidatonya lebih dari 480 buah, bahkan al-Mas’udi, mengatakan kepada kita tentang dedikasi dan gairah luar biasa dari sejumlah orang dalam mencatat dan memelihara ucapan-ucapan Ali[2].

Ø  Keindahan dan Kefasihan Satra

Aspek Najh al-Balaghah pada sisi keindahan dan kefasihan sastra ini tidak memerlukan kata pengantar bagi pembaca yang memiliki cita rasa satra yang mampu mengapresiasi keindahan dan kefasihan bahasa. Pada dasarnya, keindahan merupakan sesuatu yang dirasakan dan dialami dan bukan untuk diuraikan ataupun didefenisikan. Setelah hampir empat belas abad, Najh al-Balaghah tetap mengandung daya tarik, kesegaran, keindahan, dan pesona yang sama bagi pembaca modern sebagaimana yang dimiliki bagi orang-orang dulu. Disini, kami tidak bermaksud untuk menguraikan bukti dari klaim ini. Sebab itu, sebagaimana suatu bagian dari khutbah-khutbah kam, kami akan memaparkan secara ringkas kekuatan menajubkan dari ucapan-ucapan Imam Ali yang menggetarkan hati dan menyunyikkan perasaan kagum ke dalamnya. Kami akan memulai dengan masa-masa Ali sendiri dan menelusuri pengaruh dari khutbah-khutbahnya melalui perubahan-perubahan dan variasi-variasi dalam cita rasa, pandagan, dan modus pemikiran selama masa-masa suksesif yang berbeda sampai hari ini.
Para sahabat Ali as, terutama mereka yang memiliki cita rasa bahasa dan satra, sangat menghargainya sebagai seorang ahli pidato. Salah seorang dari mereka, abd Allah bin al-Abbas, sebagaimana ditunjukan oleh al-Jahizh dalam tidak menutupi kegemarannya untuk mendegarkan ‘Ali berbicara atau kepuasan yang ia dapatkan darinya. Suatu saat ketika Ali tengah menyampaikan khutbahnya yang termasyhur disebut al-Syiqsyiqiyyah, Ibn al-Abbas juga hadir ketika Ali tengah berbicara, seorang awam dari kufah menyerahkan sepucuk kertas berisikan sejumlah pertannyaan  sehingga Ali menghentikan khutbahnnya. Setelah membaca surat ini, Ali tidak melanjutkan khutbahnnya meskipun Ibn al-Abbas mendorongnya untuk meneruskan khutbah tadi. Lalu Ibn al-Abbas mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam atas peristiwa tersebut, “Seumur hidup belum pernah aku begitu bersedih karena terputusnnya suatu khutbah seperti yang kualami dalam khutbah ini.
Merujuk kepada sebuah surat bahwasanya Ali telah menyuratinya, Ibn al-Abbas mengatakan : “Selain pembicaraan Nabi saw, aku menarik banyak manfaat dari ucapan ini.”
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, musuh paling sengit Ali pun mengakui kefasihannya yang luar biasa. Ketika Muhqin bin Abi Muhqin menggoyang Ali dan bergabung dengan Mu’awiyah, untuk menyenangkan Mu’awiyah yang hatinya penuh dengan benci dan hasud kepada Ali, ia berkata, “Aku telah meninggalkan manusia yang paling tolol dan datang kepadamu. “Ungkapan keji dari jenis sanjungan yang berlebihan ini begitu jelas sehingga Mu’awiyah mengecamnya seraya mengatakan: “Apa katamu? Kau sebut Ali manusia paling tolol? Orang-orang Quraisy sebelumnya tidak mengetahui kefasihan berbicara. Dialah yang mengajari mereka seni kefasihan bicara[3].”

Ø  Pengaruh Khutbah Ali

Bagi mereka yang mendegar pidato Ali dari atas mimbar akan terpengaruh oleh kata-katanya. Khutbah-khutbahnya akan membuat pendegarnya tergoncang hatinya dan meneteskan air mata. Bahkan sekarang, siapa yang bisa mendegar atau membaca khutbah-khutbah Ali tanpa trgoncang hatinya? Sayyid ar-Ridhi, setelah meriwayatkan pidato terkenal Ali yang disebut al-Gharra, mengatakan :
Ketika Ali menyampaikan khutbahnya, air mata mengalir dari mata para pendegarnya dan hati-hati tergoncang penuh emosi.
Salah seorang sahabat Ali Hammam bin Syuraih adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan cinta kepada Allah. Jiwanya dibakar dengan kehidupan spritual. Sekali waktu, ia memohon Ali untuk melukiskan sifat-sifat orang takwa. Disatu sisi, Ali tidak ingin menolak permohonnya,dan sisi lain, ia khawatir bahwa Hammam tidak mampu menahan apa yang Ali katakan. Oleh karena itu, ia menghindar dari permohonan ini dengan hanya memberikan penjelasan alakadarnya ihwal ciri orang takwa. Hammam tidak terpuaskan dengan jawaban tersebut. Namun demikian ini membuat antusiasmenya makin bertambah dan ia meminta Ali untuk menjelaskan lebih jauh perihal sifat orang takwa.
Ali memulai khutbah terkenalnya itu dan memaparkan sifat-sifat muttaqin tersebut. Sekitar 105 sifat yang dilukiskan Ali mengenai sifat orang yang bertakwa dan ia ingin Ali terus menggambarkan lebih jauh. Namun begitu kata-kata Ali mengalir deras, Hammam terbawa pada puncak kebahagian. Hatinya bergetar, ruhnya melayang kepada batas emosi yang sangat jauh, hasratnya melambung bagaikan brung yang gelisah yang mencoba keluar dari sarangnya. Tiba tiba, terdengar tangisan yang menyayat dan orang-orang saling menenggok ke kiri dan kanan mencari sumber tangisan yang tidak ada orang lain selain Hammam sendiri. Mereka mendapatkan jiwanya telah terbang dari bumi memasuki alam baka. Ketika ini terjadi Ali berkata, dengan nada pujian sekaligus sesal: “sungguh, demi Allah, sejak pertama aku sudah khawatir hal ini akan terjadi atasnya. Beginikah akibat yang ditimbulkan oleh nasihat-nasihat yang mendalam pada hati nan rawan “ini merupakan sebuah contoh pengaruh khutbah ‘Ali yang tertanam pada pikiran-pikiran dan kalbu-kalbu para sahabat setianya[4].

Ø  Najh al-Balaghah di Antara Satra Klasik

Kebanyakan bangsa mempuyai karya-karya satra tertentu dianggap sebagai adikarya atau klasik. Di sini, kami akan membatasi kajian kami pada karya sastra klasik berbahasa Arab dan Parsi yang nilai yang nilai-nilainya secara relatif dapat dilihat oleh kita dengan mengecualikan karya-karya klasik di dunia kuno, Yunani dan Romawi dan seterusnya serta adikarya-adikarya zaman modern dari Italia, Inggris Prancis, dan negeri-negeri lain, untuk dikaji dan dievaluasi oleh pihak-pihak yang akrab dan cakap atsa karya-karya tersebut.
Sudah tentu, keputusan akurat mengenai karya klasik berbahasa Arab dan Parsi hanya mungkin bagi para sarjana yang memiliki spesialisasi bidang terkait. Namun merupakan fakta yang bisa diterima bahwa setiap pengarang adikarya ini hanya besar dibidang tertentu. Tidak di setiap aspek. Lebih tepatnya lagi, setiap penulis dari adikarya ini hanya memperlihatkan kepiwaiannya pada satu bidang tertentu, bidang khusus yang menentukan kecerdasaan mereka. Terkadang, jika mereka telah meninggalkan bidang khusus meraka untuk melangkah ke wilayah lain, maka mereka gagal secara menyedihkan.
Dalam Najh al-Balaghah ada satu kisah. Suatu saat Imam Ali ditanya “siapakah penyair yang paling menonjol di kalangan bangsa arab?” Ali menjawab:
Tak syak lagi, semua penyair tidak menapaki suatu jalan tunggal sehingga anda bisa menyebutkan pemimpin dari para pengikutnya. Namun jika orang terpaksa untuk memilih salah satu di antara mereka, aku akan mengatakan bahwa yang paling menonjol di kalangan mereka adalah Malik al-Dillil (gelar Umru’ al-Qays)[5].

Ø  Kecakapan Ali

            Salah satu karakter yang menonjol dari ucapan Imam Ali yang telah sampai kepada kita dalam bentuk Najh al-Balaghah adalah bahwa ucapan-ucapanya tidak terbatas pada satu bidang tertentu. ‘Ali as, dalam kata-katanya sendiri, tidak terpaku hanya pada satu cara, namun mencakup pelbagai landasan, yang terkadang sangat antitesis. Najh al-Balaghah merupakan sebuah adikarya, tapi bukan tergolong dari salah satu jenis karya semisal epik , ghazal, khutbah, eulogy (pantun puji-pujian), puisi satir dan cinta. Sebaliknya, ia mencakup bidang-bidang multimedimensi, sebagaimana akan dijelaskan.
            Sesungguhnya, karya-karya yang tergolong adikarya dalam satu bidang tertentu memang ada, namun jumlajnya tidak besar dan bisa di hitung dengan jari. Jumlah karya-karya yang mencakup sejumlah subjek namun bukan adikarya sangat banyak. Namun sebuah adikarya yang secara serentak tidak membatasi dirinya kepada satu subjek tertentu merupakan suatu nilai eksklusif dari Najh al-Balaghah. Kecuali Al-Qur’an, yang secara total merupakan subjek yang berbeda berkaitan dengan tema tadi, maka adikarya apa yang bisa dibandingkan dengan Najh al-Balaghah dalam hal keserbagunaanya?
Bicara merupakan representasi jiwa dan kata-kata seorang manusia berkaitan dengan lingkungan yang dihuninya. Tentu saja pembicaraan yang terkait dengan ruang lingkup berdemensi banyak merupakan karakteristik dari jiwa Ali tidak terbatas pada ranah tertentu namun meliputi berbagai ruang lingkup dan ia dalam termenologi tasawuf Islam, adalah al-insan al-kamil (manusia sempurna) al-kawn al-jami’(mikrokosmos utuh) dan jami’ kull al-haddharat, pemilik semua nilai kebajikan yang luhur, sehingga pembicaraanya tidak terbatas pada satu ruang lingkup tertentu. Dengan demikian sebagaimana yang akan kami katakan, dalam istilah dewasa ini, nilai ‘Ali terletak pada watak tutur katanya yang multidimensional, yang berbeda dengan karya-karya yang berwatak satu demensi. Watak serba mencakup dari jiwa Ali dan pembicaraanya bukanlah penemuan baru. Ia merupakan suatu karakter yang telah memunculkan perasaan takjub, setidaknya sejak seribu tahun yang lalu. Kualitas inilah yang telah memikat perhatian Sayyid al-Radhi seribu tahu silam. Untuk alasan itulah. Ia tertarik dengan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan Ali[6].

Ø  Tema-tema Najh al-Balaghah

Berbagai tema dan topik dibahas dalam Najh al-Balaghah, yang membuka spektrum luas dari masalah-masalah yang mewarnai dan mencoraki kedalam wacana-wacana Illahi ini. Penulis disertai ini tidak punya pretensi dan memiliki kapasitas untuk merampungkan buku itu dengan penuh keadilan dan menganalisnya secara mendalam. Say8a hanya bermaksud memberi laporan ringkas akan pelbagai tema yang ada pada kitab itu, dan adalah keyakinan kukuh saya bahwa orang lain akan tampil dimasa depanlah yang akan sanggup untuk bebuat adil terhadap adikarya dari kefasihan bicar tokoh ini.
Sekilas tentang berbagai problem yang tercakup oleh Najh al-Balaghah
Berbagai topik yang dijumpai dalam Najh al-Balaghah yang masing-masing merupakan bahasan bermanfaat, dapat digambarkan sebagai berikut :
·         Masalah teologi dan metafisika
·         Jalan mistik dan ibadah
·         Pemerintahan dan keadilan sosial
·         Ahlulbait dan isu kekhalifahan
·         Hikmah dan nasihat
·         Dunia dan keduniaan
·         Heroisme dan kegagahan
·         Kenabian, predeksi, dan eskatologi
·         Doa dan munajat
·         Kritik masyarakat kontenporer
·         Filsafat sosial
·         Islam dan al-qur’an
·         Moralitas dan disiplin diri
·         Kepribadiann, dan serangkaian topik lainnya[7].

Ø  Irfan dalam Najh al-Balaghah

Irfan Baginda Ali As dan para Imam Maksum adalah irfan yang tidak terpisah dari Islam dan al-Qur’an, bahkan irfan mereka adalah hakikat Islam dan batin syariat. Mengikut pandangan ini, irfan sejati mencakup seluruh dimensi kehidupan baik dalam skala lahir atau pun batin, personal atau pun sosial. Karena itu, agak pelik rasanya bagi kita untuk memilah-milah pembahasan irfan dan pembahasan non-irfan di antara sabda-sabda Baginda Ali As dalam Najh al-Balaghah dan selain Nahj al-Balaghah. Sementara kita saksikan bahwa Baginda Ali As sendiri dalam setiap kondisi senantiasa bersandar pada pembahasan irfan. Lantaran akar seluruh kerugian lahiriyah dan batin manusia bertitik tolak dari kehampaan makrifatnya. Dan tidak ada jalan keselamatan bagi manusia kecuali melalui jalan irfan sejati dan makrifatuLlah dalam artian yang sesungguhnya.
Kepribadian Ali bin Abi Thalib As sebagai imam para arif (Imam al-Arifin) sepanjang perjalanan sejarah memiliki pengaruh dalam terbentuknya irfan Islami dan arif terbesar dalam dunia Islam adalah Baginda Ali As yang dipandang sebagai kutub (polar) seluruh arif dan pengaruh ini telah ada bahkan sebelum tersusunnya kitab Nahj al-Balaghah.
Namun demikian, Nahj al-Balaghah sebagai sumber yang sarat dengan pembahasan-pembahasan irfan pada dimensi teoritis (nazhari) dan praktis (amali) yang menjadi obyek perhatian para peneliti. Mengingat bahwa seluruh kandungan Nahj al-Balaghah memuat wejangan-wejangan yang menyampingkan akar pembahasan dunia, dengan menelaahnya sendiri menjadi sebab bangun dan terjaganya seseorang, tercapainya wara dan ketataan kepada Allah Swt yang merupakan pendahuluan yang mesti harus dilalui dalam titian perjalanan pembahasan irfan.
Pertanyaan ini telah diupayakan dijawab secara logis dan runut yang akan dibagi menjadi tiga bagian:

1. Irfan Para Imam

Irfan para Imam Maksum As dengan satu kata adalah batin syariat Islam yang terwujud dengan sentral kepribadian para Imam Maksum As. Kedudukan imamah secara esensial adalah kedudukan manusia sempurna (insan kamil) yang merupakan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. Irfan para Imam Maksum As merupakan setinggi-tinggi madrasah Ilahi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dan jalan lurus sair-suluk manusia untuk mencapai kesempurnaan khilafah Ilahi di muka bumi.
Untuk mengidentifikasi irfan para Imam Maksum As an membedakannya dengan irfan lancung atau cacat, cukup bagi kita mengetahui bahwa apa saja yang tidak ada dalam irfan para Imam Maksum As? Irfan para Imam Maksum As adalah irfan yang berasaskan cinta (isyq) dan makrifat. Dalam madrasah ini, meski perkara metafisika tampak menonjol, namun ia bukan menjadi satu-satunya tujuan yang disasar. Karena itu, para imam tidak menaruh perhatian pada irfan-irfan Dajjal yang telah ada pada masa mereka hidup dan bahkan memeranginya. Tipologi lainnya yang terdapat pada irfan para Imam Maksum As yang merupakan prinsip asasi adalah kesatuan syariat, tarekat dan hakikat. Hal ini bermakna bahwa irfan adalah batin syariat dan kesempurnaan bagi syariat. Dalam irfan, hukum-hukum dan ibadah lebih memiliki kekayaan dan kedalaman serta akan menampakkan hakikatnya. Bukan dengan dalih kefasikan dan sikap permisif kemudian syariat dikesampingkan dan hampa nilai dan kedudukan amalan sebagaiamana yang terdapat pada irfan-irfan lancung.
Demikian juga, irfan para Imam Maksum As adalah irfan yang bertanggung jawab dan ahli mujahadah. Dan terkait dengan masyarakatnya, irfan memiliki risalah dan tingkatan yang lebih tinggi. Puncak irfan ini adalah makam syahadah (penyaksian) dan irfan yang mencakup cahaya-cahaya para Imam Maksum As sejatinya adalah seorang syahid yang hidup (yang menyaksikan cahaya kebenaran dalam hidupnya).
Dari sisi teori, pembahasan masalah irfan Islam dalam bentuknya yang orisinil adalah irfan yang diadopsi dari para Imam Maksum As, yang tidak mungkin diurai secara panjang lebar pada kesempatan ini. Apa yang dikemukakan di hanyalah sebagai pendahuluan dan mukaddimah yang benar untuk mencapai irfan orisinil ini. Dan kebanyakan para arif besar membahas masalah ini. Demikian juga pada dimensi amalan, diperlukan hubungan dengan seseorang yang cakap dan pandai dalam irfan para imam (insan kamil) yang merupakan rukun utama irfan.

2. Irfan dan Baginda Ali

Meski Nahj al-Balaghah adalah samudra irfan yang tak bertepi, namun pengaruh utama Imam Ali As dalam irfan adalah lebih menonjol karena kepribadian dan spirit irfan yang dimilikinya. Demikian juga, banyak masalah-masalah irfan dalam sabda-sabda dan ucapan-ucapan Baginda Ali As tidak terekam dalam Nahj al-Balaghah.
Sebagai contoh, sabda-sabda Baginda Ali As yang disampaikan kepada Kumail yang bertanya ihwal hakikat. Sabda-sabda ini dalam pembahasan irfan merupakan sabda-sabda yang menakjubkan namun mengingat sabda-sabda tersebut tidak termasuk bagian pidato-pidato Baginda Ali As maka sabda-sabda tersebut tidak disebutkan dalam Nahj al-Balâgha. Karena itu, patut kiranya kita memperhatikan persoalan ini bahwa Nahj al-Balaghah mencakup sebagian khutbah Baginda Ali As yang kebanyakan berisikan indzar dan peringatan kepada masyarakat bahkan bagi mereka yang tidak kuasa menahan keadilan Baginda Ali As! Apatah lagi kebanyakan orang adalah orang-orang yang berhasrat irfani kepada Baginda Ali. Kendati dalam beberapa hal khusus, Baginda Ali As menjelaskan makam-makam irfaninya dalam rangka menuntaskan hujjah bagi semua orang, namun sepanjang sejarah, karena adanya penentangan atau karena taqiyyah, pembahasan ini kurang dikumpulkan dan sebagian arif dan ahli hadis yang mengumpulkan pembahasan-pembahasan tinggi irfan Baginda Ali As, telah menjadi sasaran tuduhan ghuluw (dianggap telah menuhankan Baginda Ali) dan tudingan-tudingan lainnya. Karena itu, perjalanan sejarah irfan ini tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pembahasan irfan Baginda Ali As.
Secara umum, masalah ini terdapat pada sirah seluruh Imam Maksum As yang senantiasa memiliki sahabat-sahabat pilihan dan rahasia. Para Imam Maksum As menyampakan hal-hal irfani kepada mereka yang banyak berpengaruh pada kemunculan irfan Islam dan kebanyakan silsilah pembahasan irfan berujung pada salah satu sahabat-sahabat pilihan ini.
Karena itu, bahwa Nahj al-Balâghah merupakan sumber utama dan terbesar pembahasan irfan dan makrifat dan sepanjang sejarah menjadi pusat perhatian, namun pengaruh yang diadopsi para arif dari Baginda Ali As dilakukan bahkan sebelum penyusunan Nahj al-Balaghah. Pada masa-masa setelahnya, pengaruh ini tidak terbatas pada Nahj al-Balaghah saja. Di antaranya adalah Ibnu Arabi yang terpengaruh dari makam-makam batin Baginda Ali As dan memandangnya sebagai batin seluruh nabi. Demikian juga, Baginda Ali As sendiri dalam sebuah riwayat masyhur yang disampaikan kepada Salman bersabda, “Ma’rifat yang aku miliki diperoleh dengan cahaya makrifat Allah Swt dan makrifat Allah Swt dengan cahaya makrifatku dan demikianlah agama yang sebenarnya.” Yang tergolong sebagai riwayat yang panjang dalam bab irfan Islam.

3. Najh al-Balaghah dan Irfan

Terdapat banyak tuturan dan sabda yang dinukil dari Baginda Ali As terkait dengan pembahasan irfan yang sebagiannya terhimpun dalam Nahj al-Balaghah. Namun perlu kiranya kita menyebutkan hal ini bahwa pemisahan masalah-masalah irfan dengan pembahasan-pembahasan agama pada dasarnya tidak memiliki tempat dalam ajaran Ahlulbait As. Lantaran jenis irfan seperti ini menyangkut seluruh dimensi lahir dan batin, syariat, tarekat dan hakikat. Namun demikian, untuk memenuhi pandangan para pembaca, tuturan-tuturan para maksum dapat dipandang memiliki tingkatan dan derajat yang tentu saja memiliki tipologi tersendiri, dari cara pandang ini, yang berkaitan dengan pembahasan makrifatuLlah dan tarekat wushul (jalan untuk sampai) yang merupakan salah satu inti pembahasan irfan.
Seluruh Nahj al-Balâgha Seluruh Najh al-Balaghahmengandung nasihat-nasihat yang mengeluarkan fondasi pembahasan dunia dan menyebabkan sampainya zuhud, wara, dan ketaatan kepada Allah Swt yang tergolong sebagai pembahasan pendahuluan yang diperlukan dalam bidang Irfan. Di samping itu, kebanyakan persoalan-persoalan akurat irfan dalam masalah tauhid, makrifatuLlah, ilmu tentang ma’ad, hari Kiamat dan sebagianya disebutkan dalam Nahj al-Balaghah. Yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam hal ini adalah khutbah pertama Nahj al-Balaghah dalam pembahasan tauhid yang merupakan sebaik-baik penjelasan irfan dan tergolong sebagai kata kunci utama dalam pembahasan yang bertalian dengan tauhid irfani.

Ø  Pengaruh Najh al-Balaghah pada Sejarah Peradaban Islam

Kita ketahui bahwa pada penjelasan kita secbelumnya bahwa Najh al-Balaghah adalah kumpulan khutbah, kata-kata, doa dan lain-lain, dan semua kumpulan tersebut keluar dari sang Imam yakni ‘Ali a.s. maka, secara tidak langsung orang dari belahan dunia lambat laun akan mengetahui tentang Najh al-Balaghah. Karena Najh al-Balaghah adalah sebuah ucapan yang dituturkan atau diucapkan bukan dari orang biasa, akan tetapi perkataan dalam Najh al-Balaghah langsung keluar dari orang pilihan dan orang yang disayangi oleh Rasulullah SAW.
Walaupun sekarang masih asing dikalangan muslim tentang Najh al-Balaghah suatu saat Najh al-Balaghah akan menjadi kitab bersejarah di peradaban Islam. Dimana dituliskan oleh Muruj al-Dzahab : “sekarang ini, ada sekitar 480 khutbah ‘Ali di tangan masyarakat “.  Jadi dengan begitu semakin banyak yang mengetahui akan Najh al-Balaghah semakin orang akan tertarik mengkaji Najh al-Balaghah. Dimana juga kita ketahui bahwa dunia Islam sekarang sudah mulai banyak mengkaji Najh al-Balaghah beserta kandunganya. Oleh karena itu bisa dikatakan Najh al-Balaghah mulai menaklukan dunia Muslim. Dengan demikian Naj al-Balaghah akan di kenang sepanjang zaman dan sepanjang sejarah umat Islam.

Ø  Kata-kata Mutiara Ali Bin Abi Thalib

    Sayyidina ‘Ali k.w berkata:
“Wahai manusia, bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilangan aku, sesunguhnya aku ini lebih mengetahui jalan-jalan langit daripada jalan-jalan bumi. Bahkan aku mengetahui sebelum bencana itu terjadi dan menghempaskan impian-impian umat ini.”

Ø  Keesaan dan Ketuhanan

1.      Imam Ali a.s, setelah mengerjakan shalat malam, biasa mengucapkan doa ini:
aku bersaksi bahwa langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya adalah tanda-tanda yang menunjukan kepada-Mu. Semua bukti itu bersaksi atas apa yang telah Engkau serukan kepadanya. Segala hal yang menunjukan tentang diri-Mu adalah hujah dan dia bersaksi kepada-Mu ataas sifat ketuhan-Mu.
Aku berlindung kepada-Mu dari mengisyaratkan dengan mengisyaratkan dengan hati, lisan, atau tangan kepada selain-Mu. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Allah yang mahaesa, Mahatunggal, dan Mahakekal, dan kepada-Mulah kami berserah diri.
2.      Maukah aku tunjukkan kepada kalian buah surga? Ia adalah
(kalimat),”La ila ha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah),dengan syarat ikhlas.
Ø  Qadha’ dan Qadar (Takdir)
1.      Imam ‘Ali a.s. pernah ditanya tentang Qadar (takdir), maka dia berkata : “(Takdir adalah) jalan yang gelap, maka janganlah kalian melaluinya, lautan yang dalam, maka janganlah kalian menyelaminya, dan rahasia Allah, maka janganlah kalian menyusahkan diri kalian dengannya.”
2.      Jika telah datang takdir, sia-sialah kehati-hatian.

Ø  Ahlul Bait
1.      Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan keluarga Muhammad saw. Seperti bintang-bintang di langit. Jika satu bintang terbenam, maka bintang yang lainya muncul. Maka, seakan-akan karunia Allah telah disempurnakan kepada kalian, dan Dia telah memperlihatkan kepada kalian apa yang dahulu kalian harapkan.
2.      Mereka Ahlul Bait, adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, perbendaharaan ilmu-Nya, sumber kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitabnya, dan bukit bagi agamanya. Dengan merekalah Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menghilangkan gemetaran anggota-anggota badannya[8].

 

 

BAB III

Daftar pustaka
1.      Muthahhari Murtadha, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002)
2.      Fadhullah syaikh al-Ha’iri,Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal:15,21,31


[1] Syaikh Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal : 11-12
[2] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :11-12
[3] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :15-17
[4] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :17-18
[5] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :28-30
[6] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :32-33
[7] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Najh al-Blaghah (penerbit Islamic Center, Jakarta 2002) hal :37-38
[8] Syaikh Fadhullah al-Ha’iri Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib(penerbit Indonesia, IKAPI,2004 )hal:15,21,31

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.