Selasa, 08 Januari 2013

Pluralisme Agama


Pluralisme agama dari sudut pandang tokoh 
       Pengertian pluralisme agama Pluralisme ialah paham kemajemukan atau paham yang berorentasi kepada kemajemukan yang memiliki

berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik yang batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan. Misalnya, dalam filsafat, pandangan sebagain orang yang tidak mempercayai aspek kesatuan dalam makhluk – makhluk Tuhan disebut hetegoritas wujud dan maujud. Lawan dari pandangan ini adalah paham panteisme atau paham yang menolak segala heterogenitas (panteisme ekstrem), atau paham yang menerima adanya keanekaragaman sekaligus ketunggalan. Pluralisme
agama ialah yang berarti bahwa hakikat dan keselamatan bukan manopoli satu agama tertentu.semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung. Menjalankan program masing-masing agama bisa menjadi sumber keselamatan. Dengan demikian, rontoklah pergumulan hak dan batil antar agama, dan pada giliranya, permusuhan, konflik perdebatan menyangkut agama akan di gantikan dengan keharmonisan dan solidaritas. Pluralisme agama di dunia kristen pada beberapa dekade akhir diprakasai atau dipromosikan oleh john hick dalam hal ini dia mengatakan : Menurut pandangan fenomenolo, arti sederhana terminologi pluralisme agama ialah bahwa realitas sejarah agama-agama menunjukan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama.dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antar tradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung maksud bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius. 
                  Indonesia yang Plural Pluralitas Indonesia mencolok. 
        Kita bisa melihatnya dari peta. Ribuan pulau yang dihuni membentang dari Barat Laut sampai Tenggara sepanjang 5.500 km dan dari Utara ke Selatan sepanjang 1.500 km. Dimana yang kita ketahui di Pulau-Pulau ini ratusan orang hidup di indonesia kita ini dan juga dengan ratusan bahasa dan budaya yang berbeda, masing memiliki warna tersendiri dengan gaya tradisionl yang khas. Di samping kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan rasnya, sejak ratusan tahun orang-orang seperti cina hidup di kota-kota negara ini, dan juga beberapa kelompok imigran lain dari Asia yang lebih kecil. Islam Indonesia itu sendiri sangat plural.secara tradisional dan garis besar mereka dapat di bagi dalam tiga kelompok, berdasarkan praktik agama, budaya dan cara hidup yang berbeda. Di antara orang Indonesia yang secara aksplisit menganggap diri sebagai muslim(mengikuti bahasa geertz mereka sering secara kolektif disebut Islam santri : santri berarti {mantan} murid pesantren, sekolah-sekolah berasrama Islami yang dipimpin oleh ulama atau kiyai saleh, namun tentu saja tidak semua muslim yang menjalankan perintah agama berasal dari pesantren), kita dapat dengan mudah membedakan kelompok kedua, yang berorentasi tradisional, dan kelompok ketiga yang berorentasi modernis. Dimana kelompok pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama, organisasi besar kiyai dan pesantren yang berpusat di Jawa timur, yang pernah dipimpin selama 15 tahun oleh Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia. Yang kedua adalah Muhammmadiyah. Organisasi Islam yang bermarkas di Yogyakarta dan hampir sama besarnya, yang dipimpin oleh Amien Rais, mantan ketua MPR (1999-2004) dan mantan calon presiden (2004) . 
             Pluralisme Religius Menurut John Hick 
             John Harwood Hick (lahir di Yorkshire, Inggris tahun 1922) adalah seorang Teolog yang mendapatkan pendidikan teologi di Edinburg dan Oxford John Hick adalah tokoh yang terkenal dengan pluralime, dialog antar agama-agama. John Hick adalah seorang pemikir dalam bidang filsafat agama-agama. Ia pernah sekolah di Claremont School of Graduate Studies di California. John Hick adalah seorang pendeta di United Reform Church (gereja reformis). Ia seorang penulis yang produktif dan buku yang dituliskannya meliputi Evil and the God of Love (1979), The Second Christianity dan The Metaphor of God Incarnate. Ia adalah filsuf yang paling signifikan mengenai agama-agamanya di zamannya, ia mengingat pembelaannya mengenai verifikasi eskatologi. Hick menjadi editor dalam buku The Myth of God Incarnate yang sensasi minor dalam gereja karena mengarahkan doktrin inkarnasi bukan kebenaran literer, klasik.Beberapa tahun belakangan ia masuk ke dalam pertanyaan yang menjengkelkan mengenai hubungan kekristenan dengan agama-agama lain dan ia meletakkan pemikirannya dengan menganjurkan posisi pluralis-yaitu keselamatan mungkin bukan sesuatu yang eksklusif yang ditemukan melalui kemanusiaan Yesus Bentuk pluralisme religius yang diajukan oleh john hick memiliki banyak sisi. Salah satu sisinya adalah sebuah ajakan untuk dikembangkanya toleransi.umat kristen di himbau untuk menjalani hubungan baik dengan penganut tradisi keimanan non-kristen dan untuk mencegah arogansi. Ini bisa disebut sebagai pluralisme religius normatif, yaitu suatu doktrin bahwa secara moral, umat kristen wajib untuk menghargai pemeluk agama lain. Disini, pluralisme religius normatif didefenisikan sebagai doktrin kristen yang spesipik. Di dalamnya terdapat klaim bahwa umat kristen wajib untuk memberikan sikap tertentu pada pemeluk lain. Dengan demikian pluralisme religius normatif bisa di definisikan secara tepat, karena doktrin ini telah dikembangkan oleh para pemikir kristen untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan sikap umat kristen. Tentu saja para pluralis religius kristen, seperti John Hick, pernah mengungkapkan harapan bahwa para pemeluk agama non-kristen juga akan menerima suatu bentuk hubungan pluralisme religius normatif.
               Pluralisme Menurut Gus Dur 
                  Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut pendapatnya, pembentukan Indonesia lebih karena kesadaran membentuk suatu bangssa daripada akibat ideologi Islam. Dia melihat bahwa kondisi objektif ini tidak sepenuhnya dipahami sebagian gerakan islam di Indonesia. Menurut pendapatnya, pemikiran islam harus dipertimbangkan sebagai kompenen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara Indonesia. Fungsi ini disebut fungsi komplemeter islam. Pendapat itu ia nyatakan ketika masyarakat islam menghadapi tuntutan mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Akibatnya, beberapa kelompok politik Islam mengagap pendapat Gus Dur tersebut telah menurunkan Islam dan menjadikan Islam sebagai subordinasi dari pancasila. Kenyataan ini terutama disebabkan oleh perbedaan pendekataan yang digunakan oleh Gus Dur dan lawan dalam kasus ini, Gus Dur tampaknya mencoba mencari solusi untuk menghadapi konfrontasi di antara berbagai doktrin-doktrin Islam dalam masyarakat. Dengan mengunakan prespektif neo-modernis, ia berusaha mencari jawaban dengan kembali ke pemikiran Islam moderat dan tradisional secara fleksibel sebagai dasar memberikan solusi masa kini dan masa depan, dapat disimpulkan, Gus Dur jelas menolak pola pikir mutlak. Gus Dur lebih suka kompromi. Dia masih mengadopsi pola pemikiran NU dan secara konsisten sampai sekarang ditunjukan masyarakat Nadhiyin. Pendekatan sosio-budaya merupakan pendekatan yang digunakan Gus Dur dalm upaya memperkenalakan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan prioritas untuk mengembangkan sarana dan wawasan budaya. Metode ini dilengkapi dengan upaya mengembangkan sebuah sistem sosial sesuai dengan wawasan budaya. Pendekatan ini juga menekan kegiatan budaya dalam rangka membangun instusi .  Penolakan pluralisme agama oleh para filosof muslim Garis spikir lain tentang keragaman agama dijumpai dalam tradisi filsafat Islam. Setelah mendedah bahwa orang awam yang dibimbing para nabi as tidak mampu memahami kearifan filsafat, al-farabi menulis : “Dengan demikian semua hal yang dikiaskan setiap bangsa atau orang-orang dalam istilah-istilah yang akrab dengan mereka dan boleh jadi akrab pada suatu bangsa adalah asing bagi bangssa yang lain.’’ Menurut al-Farabi, yang sampai tingkat tertentu pandanganya di terima oleh Ibn Sina, semua agama mengekspresikan satu kebenaran filosofis dalam simbol-simbol yang berbeda dan simbol-simbol ini bertindak sebagai pengantur tatanan masyarakat dan mengantarkan manusia menuju kebahagian. Selain itu, setiap agama besar mengandungi dalam korpus wahyunya “kilasan memadai dari kebenaran murni untuk membawa para pencari kebenaran terpilih memburu kebenaran itu sendiri dan mampu secara alegoris menafsirkan simbol-simbol selebihnya, Al-Farabi berpendapat, muatan dan latar belakang spiritual dari semua agama adalah identik, karena ia bersifat universal. Namun ia sama-sama benar di mana semua simbol yang digunakan oleh agama tidak berada pada aras yang sama. Pasalnya, agama-agama tersebut “lebih mendekati kebenaran ketimbang yang lainnya, sebagian lebih efektif dari yang lain dalam meraih keyakinan orang dan menjadi daya direktif dalam kehidupan mereka. Sesungguhnya, agama-agama ini simbolismenya mengganggu secara positif. Perbedaan antara ‘urafa (jamak dari ‘arif) dan para filosof terletak pada bagaimana memahami aspek batin dari agama wahyu, melalui penyingkapan spiritual atau melalui argumen filsafat. Yang paling menarik dari ketiadaannya adalah corak pandangan yang advokasi oleh pluralisme agama reduktif, yang beranggapan bahwa agama-agama divalidasi oleh pengalaman keberagamaan personal, bahwa karena semua agama mengungkapkan satu kebenaran batin, maka ia tidak mengimplikasikan perlunya menganut satu agama, dan bahwa kebenaran umum dari agama-agama dunia dalam bentuk-bentuk kontemporernya cukup untuk membimbing kepada kebahagiaan ultimat. Tak satu pun unsur-unsur asasiah dari pluralisme agama reduktif ini diterima oleh kalangan teolog, sufi, maupun filosof . 
                                                                         BAB III 
                                                                       Kesimpulan 
Disini saya akan mencoba untuk menyimpulkan apa yang saya tulis mungkin ini adalah kesimpulan sementara yang saya dapat, saya menerima masukan atau komentar atas apa yang saya buat dan saya simpulkan karena saya masih jauh dari kesempurnaanya. Saya juga berterimakasih kepada ustd Ikhlas yang sudah memberikan pencerahan dalam hal ini dan memberikan referensi. Pluralisme agama dapat terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membangun dialog dan komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan persaudaran yang baik sesama umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme. Hujah-Hujah dari golongan sufi, seperti Syed Hossein Nasr, Jaluddin al-Rumi, Ibn Arabi, dan sebagainya perlu dilihat dengan lebih mendalam. Ini kerena, seperti yang kita maklum, pemahaman dan pandangan dari sudut sufi berbeda dan tidak boleh dinilai dengan menggunakan logika oleh orang awam. Oleh itu, kita sebagai umat Islam hendaklah berhati-hati dengan pemahaman Pluralisme Agama ini kerana secara tidak langsung pada masa ini ia banyak mengancam akidah umat Islam itu sendiri. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah orang yang fanatik terhadap pluralisme agama.
 Daftar pustaka 
1. Legenhausen, Muhammad. Satu Agama atau Banyak Agama. Penerbit Lentera, jakarta, 2002 2. Gulpaigani, Ali Rabbani, kebenaran itu banyak ?.Penerbit Al-huda, jakarta, 2005 3. Munawar-Rachman, Budhy, Sekularisme, Liberalisme, Dan Pluralisme. Penerbit PT Grasindo, 2010 4. Magnis-Suseno, Franz, Islam & Nilai-Nilai Universal Sumbangan Islam dalam Pembentukan Dunia Plural. Penerbit ICIP, 2008 5. Isya Marjani, Gustiana, Wajah Toleransi NU. Penerbit RMBOOKS,jakarta,2o12 6. http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid 7. http://id.wikipedia.org/wiki/John_Hick

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 08 Januari 2013

Pluralisme Agama


Pluralisme agama dari sudut pandang tokoh 
       Pengertian pluralisme agama Pluralisme ialah paham kemajemukan atau paham yang berorentasi kepada kemajemukan yang memiliki

berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik yang batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan. Misalnya, dalam filsafat, pandangan sebagain orang yang tidak mempercayai aspek kesatuan dalam makhluk – makhluk Tuhan disebut hetegoritas wujud dan maujud. Lawan dari pandangan ini adalah paham panteisme atau paham yang menolak segala heterogenitas (panteisme ekstrem), atau paham yang menerima adanya keanekaragaman sekaligus ketunggalan. Pluralisme
agama ialah yang berarti bahwa hakikat dan keselamatan bukan manopoli satu agama tertentu.semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung. Menjalankan program masing-masing agama bisa menjadi sumber keselamatan. Dengan demikian, rontoklah pergumulan hak dan batil antar agama, dan pada giliranya, permusuhan, konflik perdebatan menyangkut agama akan di gantikan dengan keharmonisan dan solidaritas. Pluralisme agama di dunia kristen pada beberapa dekade akhir diprakasai atau dipromosikan oleh john hick dalam hal ini dia mengatakan : Menurut pandangan fenomenolo, arti sederhana terminologi pluralisme agama ialah bahwa realitas sejarah agama-agama menunjukan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama.dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antar tradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung maksud bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius. 
                  Indonesia yang Plural Pluralitas Indonesia mencolok. 
        Kita bisa melihatnya dari peta. Ribuan pulau yang dihuni membentang dari Barat Laut sampai Tenggara sepanjang 5.500 km dan dari Utara ke Selatan sepanjang 1.500 km. Dimana yang kita ketahui di Pulau-Pulau ini ratusan orang hidup di indonesia kita ini dan juga dengan ratusan bahasa dan budaya yang berbeda, masing memiliki warna tersendiri dengan gaya tradisionl yang khas. Di samping kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan rasnya, sejak ratusan tahun orang-orang seperti cina hidup di kota-kota negara ini, dan juga beberapa kelompok imigran lain dari Asia yang lebih kecil. Islam Indonesia itu sendiri sangat plural.secara tradisional dan garis besar mereka dapat di bagi dalam tiga kelompok, berdasarkan praktik agama, budaya dan cara hidup yang berbeda. Di antara orang Indonesia yang secara aksplisit menganggap diri sebagai muslim(mengikuti bahasa geertz mereka sering secara kolektif disebut Islam santri : santri berarti {mantan} murid pesantren, sekolah-sekolah berasrama Islami yang dipimpin oleh ulama atau kiyai saleh, namun tentu saja tidak semua muslim yang menjalankan perintah agama berasal dari pesantren), kita dapat dengan mudah membedakan kelompok kedua, yang berorentasi tradisional, dan kelompok ketiga yang berorentasi modernis. Dimana kelompok pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama, organisasi besar kiyai dan pesantren yang berpusat di Jawa timur, yang pernah dipimpin selama 15 tahun oleh Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia. Yang kedua adalah Muhammmadiyah. Organisasi Islam yang bermarkas di Yogyakarta dan hampir sama besarnya, yang dipimpin oleh Amien Rais, mantan ketua MPR (1999-2004) dan mantan calon presiden (2004) . 
             Pluralisme Religius Menurut John Hick 
             John Harwood Hick (lahir di Yorkshire, Inggris tahun 1922) adalah seorang Teolog yang mendapatkan pendidikan teologi di Edinburg dan Oxford John Hick adalah tokoh yang terkenal dengan pluralime, dialog antar agama-agama. John Hick adalah seorang pemikir dalam bidang filsafat agama-agama. Ia pernah sekolah di Claremont School of Graduate Studies di California. John Hick adalah seorang pendeta di United Reform Church (gereja reformis). Ia seorang penulis yang produktif dan buku yang dituliskannya meliputi Evil and the God of Love (1979), The Second Christianity dan The Metaphor of God Incarnate. Ia adalah filsuf yang paling signifikan mengenai agama-agamanya di zamannya, ia mengingat pembelaannya mengenai verifikasi eskatologi. Hick menjadi editor dalam buku The Myth of God Incarnate yang sensasi minor dalam gereja karena mengarahkan doktrin inkarnasi bukan kebenaran literer, klasik.Beberapa tahun belakangan ia masuk ke dalam pertanyaan yang menjengkelkan mengenai hubungan kekristenan dengan agama-agama lain dan ia meletakkan pemikirannya dengan menganjurkan posisi pluralis-yaitu keselamatan mungkin bukan sesuatu yang eksklusif yang ditemukan melalui kemanusiaan Yesus Bentuk pluralisme religius yang diajukan oleh john hick memiliki banyak sisi. Salah satu sisinya adalah sebuah ajakan untuk dikembangkanya toleransi.umat kristen di himbau untuk menjalani hubungan baik dengan penganut tradisi keimanan non-kristen dan untuk mencegah arogansi. Ini bisa disebut sebagai pluralisme religius normatif, yaitu suatu doktrin bahwa secara moral, umat kristen wajib untuk menghargai pemeluk agama lain. Disini, pluralisme religius normatif didefenisikan sebagai doktrin kristen yang spesipik. Di dalamnya terdapat klaim bahwa umat kristen wajib untuk memberikan sikap tertentu pada pemeluk lain. Dengan demikian pluralisme religius normatif bisa di definisikan secara tepat, karena doktrin ini telah dikembangkan oleh para pemikir kristen untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan sikap umat kristen. Tentu saja para pluralis religius kristen, seperti John Hick, pernah mengungkapkan harapan bahwa para pemeluk agama non-kristen juga akan menerima suatu bentuk hubungan pluralisme religius normatif.
               Pluralisme Menurut Gus Dur 
                  Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut pendapatnya, pembentukan Indonesia lebih karena kesadaran membentuk suatu bangssa daripada akibat ideologi Islam. Dia melihat bahwa kondisi objektif ini tidak sepenuhnya dipahami sebagian gerakan islam di Indonesia. Menurut pendapatnya, pemikiran islam harus dipertimbangkan sebagai kompenen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara Indonesia. Fungsi ini disebut fungsi komplemeter islam. Pendapat itu ia nyatakan ketika masyarakat islam menghadapi tuntutan mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Akibatnya, beberapa kelompok politik Islam mengagap pendapat Gus Dur tersebut telah menurunkan Islam dan menjadikan Islam sebagai subordinasi dari pancasila. Kenyataan ini terutama disebabkan oleh perbedaan pendekataan yang digunakan oleh Gus Dur dan lawan dalam kasus ini, Gus Dur tampaknya mencoba mencari solusi untuk menghadapi konfrontasi di antara berbagai doktrin-doktrin Islam dalam masyarakat. Dengan mengunakan prespektif neo-modernis, ia berusaha mencari jawaban dengan kembali ke pemikiran Islam moderat dan tradisional secara fleksibel sebagai dasar memberikan solusi masa kini dan masa depan, dapat disimpulkan, Gus Dur jelas menolak pola pikir mutlak. Gus Dur lebih suka kompromi. Dia masih mengadopsi pola pemikiran NU dan secara konsisten sampai sekarang ditunjukan masyarakat Nadhiyin. Pendekatan sosio-budaya merupakan pendekatan yang digunakan Gus Dur dalm upaya memperkenalakan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Pendekatan ini memberikan prioritas untuk mengembangkan sarana dan wawasan budaya. Metode ini dilengkapi dengan upaya mengembangkan sebuah sistem sosial sesuai dengan wawasan budaya. Pendekatan ini juga menekan kegiatan budaya dalam rangka membangun instusi .  Penolakan pluralisme agama oleh para filosof muslim Garis spikir lain tentang keragaman agama dijumpai dalam tradisi filsafat Islam. Setelah mendedah bahwa orang awam yang dibimbing para nabi as tidak mampu memahami kearifan filsafat, al-farabi menulis : “Dengan demikian semua hal yang dikiaskan setiap bangsa atau orang-orang dalam istilah-istilah yang akrab dengan mereka dan boleh jadi akrab pada suatu bangsa adalah asing bagi bangssa yang lain.’’ Menurut al-Farabi, yang sampai tingkat tertentu pandanganya di terima oleh Ibn Sina, semua agama mengekspresikan satu kebenaran filosofis dalam simbol-simbol yang berbeda dan simbol-simbol ini bertindak sebagai pengantur tatanan masyarakat dan mengantarkan manusia menuju kebahagian. Selain itu, setiap agama besar mengandungi dalam korpus wahyunya “kilasan memadai dari kebenaran murni untuk membawa para pencari kebenaran terpilih memburu kebenaran itu sendiri dan mampu secara alegoris menafsirkan simbol-simbol selebihnya, Al-Farabi berpendapat, muatan dan latar belakang spiritual dari semua agama adalah identik, karena ia bersifat universal. Namun ia sama-sama benar di mana semua simbol yang digunakan oleh agama tidak berada pada aras yang sama. Pasalnya, agama-agama tersebut “lebih mendekati kebenaran ketimbang yang lainnya, sebagian lebih efektif dari yang lain dalam meraih keyakinan orang dan menjadi daya direktif dalam kehidupan mereka. Sesungguhnya, agama-agama ini simbolismenya mengganggu secara positif. Perbedaan antara ‘urafa (jamak dari ‘arif) dan para filosof terletak pada bagaimana memahami aspek batin dari agama wahyu, melalui penyingkapan spiritual atau melalui argumen filsafat. Yang paling menarik dari ketiadaannya adalah corak pandangan yang advokasi oleh pluralisme agama reduktif, yang beranggapan bahwa agama-agama divalidasi oleh pengalaman keberagamaan personal, bahwa karena semua agama mengungkapkan satu kebenaran batin, maka ia tidak mengimplikasikan perlunya menganut satu agama, dan bahwa kebenaran umum dari agama-agama dunia dalam bentuk-bentuk kontemporernya cukup untuk membimbing kepada kebahagiaan ultimat. Tak satu pun unsur-unsur asasiah dari pluralisme agama reduktif ini diterima oleh kalangan teolog, sufi, maupun filosof . 
                                                                         BAB III 
                                                                       Kesimpulan 
Disini saya akan mencoba untuk menyimpulkan apa yang saya tulis mungkin ini adalah kesimpulan sementara yang saya dapat, saya menerima masukan atau komentar atas apa yang saya buat dan saya simpulkan karena saya masih jauh dari kesempurnaanya. Saya juga berterimakasih kepada ustd Ikhlas yang sudah memberikan pencerahan dalam hal ini dan memberikan referensi. Pluralisme agama dapat terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membangun dialog dan komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan persaudaran yang baik sesama umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme. Hujah-Hujah dari golongan sufi, seperti Syed Hossein Nasr, Jaluddin al-Rumi, Ibn Arabi, dan sebagainya perlu dilihat dengan lebih mendalam. Ini kerena, seperti yang kita maklum, pemahaman dan pandangan dari sudut sufi berbeda dan tidak boleh dinilai dengan menggunakan logika oleh orang awam. Oleh itu, kita sebagai umat Islam hendaklah berhati-hati dengan pemahaman Pluralisme Agama ini kerana secara tidak langsung pada masa ini ia banyak mengancam akidah umat Islam itu sendiri. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah orang yang fanatik terhadap pluralisme agama.
 Daftar pustaka 
1. Legenhausen, Muhammad. Satu Agama atau Banyak Agama. Penerbit Lentera, jakarta, 2002 2. Gulpaigani, Ali Rabbani, kebenaran itu banyak ?.Penerbit Al-huda, jakarta, 2005 3. Munawar-Rachman, Budhy, Sekularisme, Liberalisme, Dan Pluralisme. Penerbit PT Grasindo, 2010 4. Magnis-Suseno, Franz, Islam & Nilai-Nilai Universal Sumbangan Islam dalam Pembentukan Dunia Plural. Penerbit ICIP, 2008 5. Isya Marjani, Gustiana, Wajah Toleransi NU. Penerbit RMBOOKS,jakarta,2o12 6. http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid 7. http://id.wikipedia.org/wiki/John_Hick

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.